Curug lawe, Curug Benowo, Kalisidi, dan Watu Gunung

Hari libur rasanya sayang jika dilewatkan tanpa ke mana-mana. Usai jogging 5.000 langkah, aku mengajak anak-anak ke kolam renang pada Jumat 26 Desember 2025. Nawa, tentu saja, sangat senang. Masalahnya tinggal satu: kolam renang yang mana?

Kolam renang di kota kami, Demak, bukan pilihan yang baik. Selain kecil, biasanya penuh, dan bau kaporitnya sangat menyengat. Pilihan ke Kudus langsung dicoret oleh ibunya anak-anak karena ada pembangunan jalan di Trengguli. Baiklah, kami pun mengarah ke Ungaran atau Kopeng.

Kami memilih jalur kota dan tidak masuk tol. Rencananya, sekalian mencari sarapan. Ternyata kami mendapatkannya di alun-alun Ungaran. Di situlah tiba-tiba muncul ide untuk ke Curug Lawe. Setelah melihat peta, jaraknya ternyata tidak jauh—sekitar 15 menit dari alun-alun Ungaran. Saya pernah menyetir ke arah ini sebelumnya, dulu saat ke Desa Wisata Lerep untuk mengikuti acara Iriban. Jalurnya memang lumayan: naik-turun dengan tikungan tajam.

Akhirnya kami tiba di area parkir CLBK (Curug Lawe–Benowo, Kalisidi). Setelah memarkir mobil, kami langsung menuju loket tiket. Harga tiket masuk Rp13.000 per orang, dan parkir kendaraan roda empat Rp10.000. Kami diberi penjelasan bahwa di kawasan ini ada dua objek wisata: Curug Lawe dan Curug Benowo. Jalurnya berbeda dan akan bercabang di tengah perjalanan. Di percabangan itu terdapat penunjuk arah: Curug Lawe 800 meter, Curug Benowo 700 meter.

Bagaimana pemandangannya? Bagus sekali. Memang, wisata alam di Kabupaten Semarang tidak kalah dengan daerah lain seperti Bali atau Yogyakarta. Dulu, air terjun yang terkenal hanya Grojogan Sewu di Tawangmangu. Ternyata kini ada alternatif yang lebih dekat.

Kami menyusuri jalan setapak. Di kanan, aliran sungai kecil; di kiri, tebing yang di bawahnya mengalir sungai besar. Harus ekstra hati-hati. Jalur kadang menanjak terjal, kadang menurun tajam. Ngos-ngosan tentu saja. Justru wisata seperti inilah yang saya sukai. Saya membayangkan, jika curug ini mudah diakses, pengunjungnya pasti akan membludak.

Sebagian besar pengunjung adalah remaja—kaum Instagram. Kaum Facebook, mungkin boleh mundur dulu; belum tentu kuat. Mereka datang berombongan atau berpasangan, merekam video dan mengambil foto di titik-titik pilihan: berlatar aliran sungai berbatu, hutan yang rimbun, air yang bergemuruh, kicau burung, dan pohon-pohon besar yang menjulang.

Sekitar 30 menit berjalan dari pos tiket, kami sampai di persimpangan. Kami diminta memilih antara Curug Lawe dan Curug Benowo. Awalnya ingin menjelajahi keduanya, tetapi akhirnya kami memilih Curug Benowo lebih dulu karena jaraknya lebih dekat, 700 meter. Jalannya semakin terjal, napas kami semakin tersengal.

Ibunya bertanya pada Nawa apakah ia senang berada di tempat ini. Jawabnya singkat, “Tidak.” Lalu ia menambahkan, “Ngapain sih ke sini? Aku kan inginnya ke kolam renang.” Meski begitu, wajahnya tetap riang menapaki jalur yang berat.

Sesampainya di Curug Benowo, saya pamit untuk turun lebih dulu. Sebenarnya berat meninggalkan mereka di medan seperti ini, tetapi hari itu Jumat. Saya turun sekitar pukul 10.30. Perjalanan turun saya percepat. Masih sempat memotret seekor burung cantik berwarna hitam dengan garis kuning-putih. Saya tiba di area parkir pukul 11.10 dan sampai di masjid pukul 11.20. Masjid masih sepi.

 

Di dalam mobil, saya membuka laptop. Ada pesan WhatsApp masuk—pekerjaan harus segera diselesaikan. Saya memang selalu membawa laptop jika bepergian agak jauh, siapa tahu ada pekerjaan mendadak. Saya juga terbiasa bekerja di jam-jam sempit.

Pukul 13.00 saya kembali ke area parkir wisata. Istri dan anak-anak belum turun. Sekali lagi saya membuka laptop untuk finalisasi pekerjaan. Setelah selesai dan hendak mengirimnya, ternyata tidak ada sinyal. Laptop saya matikan dan saya bersiap naik kembali menyusul mereka. Ternyata dari kejauhan sudah terlihat wajah mereka bertiga penuh senyum dan tawa.

Kami turun diiringi gerimis. Nawa kembali menagih kolam renang. Kolam terdekat adalah Watu Gunung, sekitar 15 menit dari Curug Lawe. Kami pun menuju ke sana. Area Watu Gunung—yang memadukan restoran, kolam renang, dan penginapan—menyuguhkan pemandangan elok. Batu-batu ditata rapi, berpadu dengan pohon palem, bambu, kelapa, rumah-rumah joglo, serta patung-patung batu.

Tentu saja yang paling bahagia adalah Nawa, anak bungsu kami. Ia berenang paling lama, sampai giginya bergetar. Kami menunggunya sambil menikmati kopi, susu, dan tahu bakso.

Kiranya cukup jalan-jalan hari itu. Kami harus segera pulang sebelum petang tiba. Kami memilih kembali lewat kota, tidak melalui tol seperti biasanya. Curug Lawe memang sengaja belum kami kunjungi—agar kami punya alasan untuk datang lagi.

0Shares
Dosen di Universitas PGRI Semarang. Penulis buku Soko Tatal dan kumpulan cerpen Di Atas Tumpukan Jerami. Penggiat di Simpul Gambang Syafaat Semarang dan Maiyah Kalijagan Demak.
Pos dibuat 159

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mulai mengetik pencarian Anda diatas dan tekan enter untuk mencari. Tekan ESC untuk batal.