Tulisan Tidak Mendalam dan Tidak Berdampak

Sejak ujian tertutup disertasi saya terlaksana, saya mulai menulis lagi, terutama di blog pribadi saya, www.kanghajir.com, di akun Instagram @muhajir_upgris, serta di beberapa media lain seperti Derap Guru dan BacaAja.co. Inilah ruang-ruang yang sejauh ini dapat saya jangkau untuk memuat ide-ide saya. Sejak dinyatakan selesai kuliah, ide-ide itu bermunculan, dan saya memiliki waktu serta tenaga untuk mengeksekusinya menjadi tulisan. Obrolan-obrolan panjang bersama istri—sambil jogging, di ruang tamu, di ruang tengah, bahkan di dapur—saya catat dan saya olah menjadi tulisan.

Saya tidak yakin apakah tulisan-tulisan saya itu dibaca atau tidak. Apalagi berharap tulisan tersebut berdampak luas seperti yang diemban oleh kurikulum pendidikan Indonesia mutakhir. Menulis, bagi saya, adalah tindakan yang bisa dan baik untuk dilakukan. Perbuatan yang baik, jika dilakukan berulang-ulang dan terus-menerus, dengan frekuensi yang lebih sering, setidaknya akan berdampak bagi diri saya sendiri.

Ada alasan mengapa saya pesimis tulisan-tulisan itu akan menemukan pembacanya. Kini kita hidup di era gambar bergerak. Orang-orang menyampaikan pendapat melalui visual dan suara, dan pesan-pesan pun ditangkap melalui medium yang sama. Jika dulu tokoh-tokoh publik lahir dari media tulis seperti koran dan majalah, kini mereka muncul melalui media video seperti YouTube, TikTok, dan Instagram. Media baru ini tidak hanya menjanjikan keterkenalan, tetapi juga pendapatan. Orang membuat konten dan menjadi kaya darinya.

Jika dampak media tulis sulit dilihat secara langsung, dampak media baru berbasis video daring jauh lebih mudah diukur: berapa jumlah penonton, berapa like, dan berapa komentar. Keterukuran inilah yang membuat para pengiklan tertarik menempatkan iklan mereka.

Maka, bagi siapa pun—dari bidang apa pun—yang ingin berkomunikasi dengan massa, kuasailah media baru ini: menjadi kreator konten, mengelola media sosial, menjadi viral, masuk FYP. Namun, bagi orang seperti saya yang dibentuk oleh tradisi lama, yang belajar menulis dengan rigit, berpindah ke cara mengungkapkan ide secara lisan dan visual bukanlah perkara mudah. Saya sedang belajar dari nol dengan mengamati karya-karya orang lain, lalu memilih bentuk yang mungkin bisa ditiru. Itu pun belum tentu berhasil.

Harus diakui, media cetak semakin hari semakin sepi. Pengiklan berpindah ke figur-figur yang memiliki banyak pengikut di media sosial. Koran-koran mungkin bertahan sekuat tenaga agar tetap terbit, meskipun semakin hari semakin tipis, oplahnya semakin sedikit, tidak lagi mampu membayar penulis, bahkan beberapa di antaranya menjual halaman kepada penulis yang ingin tulisannya dimuat. Ironisnya, menulis di sana pun sering kali terasa sia-sia, karena hanya sedikit orang yang membacanya.

Menulis seperti yang saya lakukan di blog ini saya ibaratkan berjalan di jalanan yang sepi. Mungkin sesekali bertemu orang, tetapi hanya satu dua. Demikian pula dengan tulisan ini: mungkin bertemu pembaca, tetapi juga hanya satu dua orang. Menulis, barangkali, seperti berbicara di sebuah rumah kosong. Mungkin, lho.

 

Semarang, 17 Desember 2025

0Shares
Dosen di Universitas PGRI Semarang. Penulis buku Soko Tatal dan kumpulan cerpen Di Atas Tumpukan Jerami. Penggiat di Simpul Gambang Syafaat Semarang dan Maiyah Kalijagan Demak.
Pos dibuat 149

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mulai mengetik pencarian Anda diatas dan tekan enter untuk mencari. Tekan ESC untuk batal.