Pagi hari di kamar yang berjajar rak buku, saya membuka-buka file lama. Saya mendapati sebuah video pendek yang saya ambil tiga tahun lalu, tersimpan di sebuah folder di laptop. Video itu memperlihatkan percakapan saya bersama Nino, boneka saya. Saya tersenyum sendiri mengingatnya.
Tiga tahun lalu, sebelum berangkat kuliah, saya memang pernah belajar mendongeng. Saya mencoba berbagai teknik, mulai dari wayang kertas, wayang bayangan, hingga ventrilokuis.
Pada awalnya, saya mendongeng dengan teknik bayangan, persis seperti wayang kulit, tetapi dengan karakter hewan. Saya sempat pentas keliling menggunakan perangkat ini. Semua peralatan dongeng saya bawa ke mana-mana dengan sepeda motor karena saat itu saya belum memiliki mobil. Penontonnya pun terbatas, kebanyakan teman-teman sendiri.
Teknik bayangan ini ternyata gagal total ketika saya diundang mendongeng di sebuah TK pada siang hari. Lampu yang saya bawa tidak cukup kuat untuk menciptakan bayangan. Anak-anak berusia lima tahun itu menjadi gaduh dan justru menilik ke balik layar. Keringat dingin mengucur di dahi saya. Saya malu luar biasa kepada penyelenggara. Honor yang saya patok cukup mahal, tetapi pentas gagal. Jika honor itu tidak saya terima, saya akan rugi total karena membawa dua pemusik: seorang pemain keyboard dan seorang pemain biola.
Pada hari itu saya pentas dua kali. Pentas pertama dilakukan di Pati, sedangkan pentas kedua di Kudus. Pentas di Kudus berlangsung di sebuah madrasah dengan jumlah penonton lebih banyak. Meskipun digelar di ruang terbuka, bayangan tercipta dengan baik dan penonton tertib—mungkin karena usia mereka sudah lebih besar. Saya senang karena mereka mengikuti ritme cerita: tertawa saat adegan lucu dan ikut bernyanyi dalam alur cerita.
Saat itu, undangan mendongeng terus berdatangan. Minimal sepekan sekali saya mendapat undangan untuk mengisi acara-acara keagamaan Islam di SD, SMP, maupun madrasah. Saya menikmatinya karena dapat berinteraksi dengan banyak orang dan berkenalan dengan orang-orang baru. Dari situlah tumbuh keyakinan saya: berkaryalah, karena karya akan membawamu ke mana saja dan mempertemukanmu dengan orang-orang yang tidak terduga. Apa alasan orang mengundangmu jika kamu tidak memiliki karya? Mendongeng, pada masa itu, menjadi jalan bagi saya untuk bertemu, berkomunikasi, serta menyampaikan pesan-pesan moral dan lingkungan melalui cerita.
Untuk menghemat tenaga, waktu, dan biaya, saya kemudian mendongeng hanya dengan membawa wayang, tanpa layar. Bentuk dan warna wayang saya buat sebaik mungkin. Penggunaan wayang bayangan terasa merepotkan karena selain alatnya besar, juga membutuhkan ruang yang gelap. Saya mendongeng seorang diri, musik hanya menggunakan rekaman. Semua peralatan saya bawa sendiri dengan sepeda motor, menempuh perjalanan yang tidak sebentar.
Perlu kamu tahu, durasi mendongeng untuk anak-anak tidaklah lama, maksimal 30 menit. Dalam waktu sesingkat itu, seorang pendongeng harus memperkenalkan tokoh, membangun konflik, hingga menutup cerita sebagaimana formula naratif. Itu membutuhkan perjuangan ekstra untuk menjaga perhatian anak-anak, terlebih anak-anak TK. Padahal, ketika kita diundang dalam sebuah acara, panitia telah menyiapkan tempat lengkap dengan MMT. Jika hanya bercerita selama 30 menit, rasanya kurang. Maka ditambahlah berbagai selingan sebelum dan sesudah cerita: bernyanyi, tebak-tebakan, atau bahkan sulap—mirip badut.
Pada titik inilah Nino, boneka saya yang berambut berdiri, saya hadirkan. Nama boneka itu merupakan usulan seorang teman saya bernama Elina. Saya kemudian belajar memainkan boneka tersebut dengan teknik ventrilokuis melalui buku dan YouTube. Nino hanya muncul di awal dan akhir cerita sebagai pengantar dan penutup yang menyimpulkan isi dongeng. Ia menjadi teman dialog saya di atas panggung.
Saya kembali menemukan beberapa video dialog saya bersama Nino di folder laptop. Video-video itu saya edit satu per satu, lalu saya unggah ke status WhatsApp. Tak lama kemudian, tiga orang langsung menghubungi saya untuk mengundang mendongeng. Dengan cepat saya menjawab, “Tidak, saya sudah tidak mendongeng lagi. Saya tidak lagi punya tenaga. Mendongeng membutuhkan energi besar, mulai dari persiapan, penyusunan naskah, hingga menghadapi audiens yang tidak dapat diduga.”
Memang, saya merasa tidak memiliki tenaga lagi untuk mendongeng. Energi yang dibutuhkan terlalu besar. Saya seorang dosen. Sebagai pengajar, saya membutuhkan energi ekstra: menyiapkan pembelajaran, melakukan evaluasi, belum lagi menulis artikel ilmiah untuk jurnal. Lebih baik tenaga itu saya konsentrasikan ke sana. Kalaupun nanti mendongeng, mungkin hanya akan saya lakukan untuk konten media sosial.
Begitulah pikiran saya sebelum sebuah DM masuk ke akun Instagram. Pesan itu berasal dari kolega saya, seorang seniman lukis sekaligus dosen bernama Pak Singgih. Ia adalah dosen seni lukis di Prodi PGSD UPGRIS. Selain mengajar, ia juga seorang praktisi. Ia pelukis tulen dengan karya yang diakui di dunia seni rupa Indonesia dan kerap mengikuti pameran.
Pesan di Instagram itu berbunyi, “Pak, dongengmu itu dilanjutkan lagi. Nanti bisa dikembangkan seperti Papermoon Puppet.” Pesan itu mengganggu pikiran saya. Mungkin saya akan melanjutkan mendongeng, tetapi dengan memilih tempat dan audiens yang tepat, seperti pertunjukan teater. Penonton dan panggung harus benar-benar disesuaikan.
Saya pun membalas pesan Pak Singgih, “Oke, siap, Pak. Kita agendakan ngobrol.”
