Konser terakhir persembahan untuk Kak Titi

Konser akhir yang telah lama direncanakan—bahkan sempat tertunda—akhirnya tetap berlangsung. Pada Sabtu, 20 Desember 2025, pukul 13.00–17.00 WIB, di Pendopo Kabupaten Demak, sekitar 50 siswa didik Kak Titi yang tergabung dalam Titi Bina Vokalia dan Titi Bina Musika menampilkan kemampuan mereka dalam bernyanyi dan bermain musik dengan tajuk “Last Concert Music-For Our Beloved Teacher”.

Panggung ditata sederhana namun rapi. Sebuah videotron menampilkan gambar yang berganti-ganti, sementara keyboard dan piano ditempatkan di sisi kanan dan kiri panggung. Para penampil duduk berjajar di sisi kiri, operator berada di sisi kanan, dan penonton—yang sebagian besar adalah keluarga—mengisi kursi di depan panggung. Tata suara terdengar jernih, dengan pencahayaan yang cukup mendukung jalannya acara.

Sejak pukul 12.00, anak-anak mulai berdatangan bersama orang tua mereka, memenuhi ruangan berlantai marmer dan bertiang kayu itu. Kak Fae, istri Kak Titi, terlihat memastikan setiap detail berjalan sebagaimana mestinya: mikrofon, alat musik, hingga susunan tempat duduk. Ia bergerak dari satu titik ke titik lain, tenang namun sigap. Siang itu ia mengenakan gaun putih sederhana, rambutnya dikepang lurus ke belakang.

Urutan duduk anak-anak disesuaikan dengan jadwal penampilan. Sesi awal diisi oleh siswa-siswa termuda; beberapa di antaranya masih berusia empat tahun. Dua anak Kak Titi, Mika dan Tata, juga turut tampil, menyatu dengan penampil lain tanpa perlakuan khusus.

 

Konser ini sejatinya merupakan bagian dari rencana yang telah disiapkan jauh hari. Anak-anak berlatih secara rutin, lagu-lagu telah dipilih, dan jadwal disusun dengan rapi. Namun, sebelum hari pelaksanaan, kabar itu datang: Kak Titi meninggal dunia. Situasi berubah, dan banyak yang mengira acara ini tidak akan dilanjutkan. Pilihan kemudian diambil—konser tetap berjalan.

Di atas panggung, perasaan tidak tampil sebagai sesuatu yang terucap, tetapi hadir dalam cara anak-anak bernyanyi dan memainkan musik. Perbedaan usia, latar belakang, dan karakter menyatu dalam satu pementasan. Musik menjadi ruang bersama—tempat anak-anak bergerak, berkonsentrasi, dan menyelesaikan apa yang telah mereka persiapkan. Dua penampilan yang mencuri perhatian Eza Wahyu Meisa Yanti  adalah  yang menyanyikan lagu “Jangan Menyerah” serta Najah yang memainkan keyboard, keduanya adalah siswa Kak Titi yang penglihatannya kurang dan menunjukkan ketekunan yang terasa jelas.

Konser dibuka dengan rangkaian kalimat yang ditampilkan di layar: ajakan untuk terus belajar dan menghargai setiap usaha, sekecil apa pun. Kata-kata itu dibaca dalam keheningan yang penuh perhatian; sebagian penonton menganggapnya sebagai pesan terakhir dari Kak Titi.

 

Pada penutupan, seluruh penampil kembali ke panggung untuk bernyanyi bersama. Setelah itu, Kak Fae tampil bersama murid-murid Kak Titi yang telah dewasa. Ia bernyanyi dari belakang penonton, sambil membawa foto suaminya. Perlahan ia berjalan ke panggung dan meletakkan foto tersebut di kursi di tengah. Tidak ada kata-kata tambahan. Ruangan menjadi hening sejenak.

Konser berakhir, namun kesan yang ditinggalkan tetap tinggal. Sosok guru yang bekerja dengan ketulusan akan selalu hadir dalam ingatan murid-muridnya—melalui lagu, latihan, dan keberanian untuk terus melangkah.

Selamat jalan, Kak Titi. Terima kasih atas jejak yang ditinggalkan.

0Shares
Dosen di Universitas PGRI Semarang. Penulis buku Soko Tatal dan kumpulan cerpen Di Atas Tumpukan Jerami. Penggiat di Simpul Gambang Syafaat Semarang dan Maiyah Kalijagan Demak.
Pos dibuat 159

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mulai mengetik pencarian Anda diatas dan tekan enter untuk mencari. Tekan ESC untuk batal.