Ilmu Porsi

Di ruang tamu rumah kami terdapat sebuah akuarium. Suatu pagi, seekor ikan di akuarium itu mati. Nawa, anak kami yang paling kecil—yang kini duduk di kelas satu sekolah dasar—bertanya kepada ibunya, “Kenapa ikan itu mati?”

“Ada banyak sebab ikan bisa mati. Mungkin sakit, airnya tidak bersih, terkena kuman, terkena virus, kurang makan, atau justru terlalu banyak makan,” jawab ibunya sambil membolak-balik lembaran buku yang baru saja dibelinya.

Mata Nawa berbinar. Ia menatap wajah ibunya dengan penuh rasa ingin tahu, lalu mengajukan pertanyaan lagi, “Kebanyakan makan bisa mati?”

“Iya. Kebanyakan makan bisa mati. Ikan itu tidak punya kontrol. Selama ada makanan di depannya, ia akan terus makan.”

“Kalau makanannya banyak?”

“Dia makan semuanya.”

“Sampai kapan?”

“Sampai mati. Itulah sebabnya kalau memberi makan ikan harus sedikit-sedikit, sesuai porsinya.”

“Kenapa ikan tidak berhenti makan setelah kenyang?”

“Mungkin karena ia berpikir belum tentu besok ada makanan. Jadi, makanan yang ada hari ini dihabiskan semuanya. Ia tidak mampu mengukur bahwa tubuhnya yang kecil tidak sanggup menampung makanan sebanyak itu.”

Aku pamit berangkat kerja, meninggalkan ibu dan anak itu yang masih berdialog tentang ikan—ikan yang serakah, ikan yang tidak memiliki kontrol. Di perjalanan, pikiranku berkelana pada kisah ikan tersebut. Bukankah manusia sering kali juga demikian?

Secara harfiah, manusia pun kerap lupa diri dalam urusan makan. Lambung manusia sebenarnya kecil; sedikit makanan saja sudah cukup untuk menghidupi tubuhnya. Namun, demi memuaskan hasrat lidah atau karena berpikir “belum tentu besok ada makanan seperti ini lagi”, manusia memanfaatkan aji mumpung. Makanan yang berlimpah itu dipaksakan masuk ke perut. Akibatnya, tubuh menanggung penyakit, sebab tidak semua zat dalam makanan dibutuhkan. Kelebihan satu zat saja dapat memicu gangguan kesehatan.

Kasus ikan dan porsi makan ini dapat ditarik ke konteks yang lebih luas, misalnya dalam hal rezeki berupa harta dan jabatan. Dalam kondisi seperti itu, manusia sering kali lupa batas, tidak tahu porsi dirinya, dan kembali menggunakan aji mumpung.

Orang yang mengambil sesuatu tidak sesuai kapasitasnya sejatinya sedang membunuh dirinya sendiri. Mungkin bukan tubuhnya yang mati, melainkan hatinya. Ia berubah: gairah beribadah memudar, empati menipis, orang lain dipandang remeh, dan pertemanan diukur semata-mata dengan untung dan rugi. Hidup pun menjadi kering.

Orang yang tidak memahami ilmu porsi melihat segala sesuatu sebagai makanan yang harus dikunyah. Gunung, hutan, jalan—semuanya dianggap santapan yang harus segera dilahap. Ia tidak pernah berhenti, hingga akhirnya digulung oleh “makanannya” sendiri.

Maka, bersyukurlah jika Tuhan memberi rezeki secukupnya. Bisa jadi, memang segitulah porsi kita. Sebab jika diberi porsi yang terlalu besar, kita mungkin tak sanggup menahannya, lalu mati—seperti ikan itu.

 

0Shares
Dosen di Universitas PGRI Semarang. Penulis buku Soko Tatal dan kumpulan cerpen Di Atas Tumpukan Jerami. Penggiat di Simpul Gambang Syafaat Semarang dan Maiyah Kalijagan Demak.
Pos dibuat 159

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mulai mengetik pencarian Anda diatas dan tekan enter untuk mencari. Tekan ESC untuk batal.