Di rumah kelahiran Dukuh Cabean, Desa Sidorejo, Kecamatan Karangawen, Kabupaten Demak, kami berkumpul pagi itu, Ahad (21/12). Ketika saya memasuki halaman rumah dan memarkir mobil sekitar pukul 06.00 WIB, rombongan yang akan ikut touring sebagian sudah berkumpul.
Di sana ada Pak De Topik dan Bu De Tiah (kakak saya; saya memanggil mereka Pak De dan Bu De, yang kerap mengajari anak-anak kami). Juga hadir Bulik Nia, Om Budi (adik saya), Sani, Wida, Hafiz, dan Ais. Saya sendiri datang bersama istri dan dua anak kami, Bening dan Nawa. Masih ada beberapa peserta lain, yaitu Fikri, Mufiz (putra pertama kakak saya), Faza (putra Paklik saya), serta Ida dan April yang juga putra Paklik. Mas Nur dan Mbak Dewi (kakak tertua kami) berhalangan hadir karena akan menerima tamu.
Kami melakukan perjalanan dari Karangawen menuju Pringapus melalui jalur Jragung. Rute ini baru pertama kali kami lalui. Di Pringapus tinggal saudara sepupu saya, putri dari Pak De, yang kami panggil Mbak Menik. Saudara kami ini jarang sekali kami kunjungi—setahun sekali pun belum tentu—karena jaraknya memang cukup jauh. Biasanya, jika ke sana kami menempuh rute melalui Kota Semarang, masuk tol lalu keluar di Ambarawa, kemudian menuju Pringapus. Rute lain yang tidak kalah jauh adalah jalur timur melalui Gubug dan Kedongjati. Itulah sebabnya kami jarang berkunjung.

Tiba-tiba saja muncul usul untuk melewati jalur Jragung. Konon, jalan di sana sudah bagus. Benar saja, kami membuktikannya. Kami melewati perempatan Karangawen menuju Gablok, melintasi dua rel kereta api. Pada rel kedua—jalur Semarang–Solo—setiap Ahad pagi terdapat pasar tumpah. Di sana kami membeli lauk-pauk dan lontong untuk sarapan. Sesampainya di jembatan Jragung, sebelum bendungan, kami melihat orang berjualan nasi jagung berbungkus daun jati. Kami membelinya untuk disantap bersama.
Perjalanan berlanjut menyusuri jembatan besi yang hanya dapat dilalui sepeda motor. Setelah itu kami menanjak, melewati deretan pohon jati. Sampailah kami di sebuah kawasan yang direncanakan akan difungsikan sebagai Bendungan Jragung. Memasuki kawasan ini, jalannya sudah lebar dan dapat dilalui mobil. Pemandangan di sini begitu indah. Deretan gunung tampak jelas dan menawan. Banyak orang datang dan berfoto di tepi jalan dengan latar gunung-gunung tersebut. Bukit-bukit di kiri kanan jalan bernasib sama dengan perbukitan di Kabupaten Kudus: dipenuhi tanaman jagung.
Kami menepi sejenak di sebuah tugu—entah tugu apa. Kami beristirahat dan menyantap makanan yang telah dibeli: lontong, sate, nasi jagung, sayur lodeh, gereh, serta air mineral terasa nikmat ketika disantap bersama. “Jangan kenyang-kenyang, sudah dimasakkan Mbak Menik,” seloroh Pak De Topik. Gurauan-gurauan kecil pun terlontar di sela-sela sarapan. Om Budi, yang kini menjadi afiliator Shopee, sibuk membuat konten. Apa saja yang ada di sekitar direkam dan dijadikannya bahan promosi.

Perjalanan kami lanjutkan melalui jalanan yang naik-turun tajam, sambil menikmati pemandangan bukit dan gunung di kiri kanan. Tak lama kemudian, kami mulai menjumpai tanda-tanda peradaban. Perkampungan dengan bangunan khas Kabupaten Semarang tampak semakin rapat. Perumahan-perumahan baru, pabrik, pom bensin, rumah susun, hingga kafe berjajar di sepanjang jalan. Akhirnya, kami memasuki kawasan Pringapus. Beberapa menit kemudian, kami pun tiba.
Kami sampai di rumah tujuan, rumah Mbak Menik, sebelum pukul sembilan. Tuan rumah menyambut dengan ramah. Ada Mbak Menik, Mas Heri, dan dua anak mereka: Sefa, yang baru lulus kuliah tata busana dan kini sudah bekerja, serta Vega, gadis kelas XII yang cantik dan berprestasi. Aneka hidangan telah tersaji: sop, tahu bakso, tempe goreng, pisang, es degan, dan berbagai sajian lainnya.
Kami bertukar cerita dan harapan, sekaligus mengenang masa kecil ketika tumbuh bersama.
Usai salat Zuhur, kami pamit. Mendung menggantung di langit; kami berharap hujan belum turun. Motor kami kembali beriringan menyusuri jalan yang sama, menikmati pemandangan gunung, bukit, dan hamparan lahan yang kelak akan menjadi Bendungan Jragung. Silaturahmi telah terlaksana. Waktu tempuh ketika pulang tidak ada satu jam melewati jalur baru itu. Demak-Kab. Semarang menjadi sangat dekat.Alhamdulillah, semua sehat, rukun, damai, sentosa.
