Seorang anak menatap ikan kesayangannya yang mengambang di akuarium. Ikan merah bergaris hitam itu tak lagi bergerak seperti hari-hari sebelumnya-berenang ke sana kemari mengelilingi seluruh sisi kaca. Anak perempuan itu berdiri diam beberapa saat. Bulir-bulir air menggenang di sudut matanya.
Ia lalu bertanya kepada ibunya, “Mengapa ikan itu mati?” Tubuhnya menoleh ke arah sang ibu yang sejak tadi duduk di belakangnya.
Peristiwa itu barangkali hanya peristiwa kecil bagi sang ibu. Namun, bagi seorang anak yang baru berusia tujuh tahun, peristiwa tersebut adalah guncangan besar—mungkin kehilangan terbesar yang pernah ia alami sejauh hidupnya. Ia belum tahu bahwa kelak akan ada kehilangan-kehilangan lain yang harus ia hadapi.
Setiap pertanyaan anak sesungguhnya adalah kesempatan untuk menanamkan pelajaran. Sang ibu menjawab, “Setiap yang hidup pasti akan mati. Kamu harus menerimanya. Itu namanya takdir.” Melalui jawaban itu, ia mengenalkan konsep takdir: kehendak Tuhan yang tidak dapat digugat dan tidak bisa dikendalikan manusia. Dalam situasi seperti ini, yang dapat dilakukan manusia hanyalah pasrah, berserah, dan belajar ikhlas. Penolakan hanya akan membuat luka semakin dalam.
Namun sang ibu tidak berhenti di situ. Ia menambahkan, “Ada kemungkinan ikan itu mati karena kuman atau virus.” Dari sini, ia mengajarkan pentingnya menjaga kebersihan. Kuman dan virus dapat dihindari dengan menjaga lingkungan tetap bersih dan merawat tubuh secara teratur. Jika takdir adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari karena merupakan hak mutlak Tuhan, maka menjaga kebersihan adalah ikhtiar yang bisa dilakukan manusia.
“Itulah sebabnya kamu harus menjaga kebersihan,” lanjutnya. “Mandi secara teratur, menggosok gigi sebelum tidur agar gigi tidak keropos, dan merapikan tempat tidur setelah bangun.”
Kemudian sang ibu menyampaikan kemungkinan ketiga. “Bisa juga ikan itu mati karena terlalu banyak makan. Ia tidak tahu porsi. Selama ada makanan, ia akan terus makan. Maka, kalau memberi makan, jangan berlebihan.” Pada titik ini, sang ibu mengajarkan tentang batas dan pengendalian diri. Keserakahan, jelasnya, berdampak buruk—bagi diri sendiri maupun orang lain.
Dalam ilmu kedokteran, seseorang dibatasi: ada yang boleh dimakan dan ada yang tidak, ada porsi yang dianjurkan dan ada yang harus dihindari. Dalam agama pun diajarkan hal serupa: makanlah makanan yang halal dan tidak berlebihan.
Jawaban pertama—bahwa kematian ikan adalah takdir—tampak sebagai jawaban keagamaan. Sementara jawaban tentang kebersihan dan pengaturan porsi makan sekilas terdengar sebagai jawaban sains. Padahal, agama juga menyeru kebersihan dan melarang keserakahan.
Menjaga kesehatan—yang menjadi tujuan ilmu kedokteran—juga dianjurkan dalam agama. Bahkan terdapat satu disiplin yang dikenal sebagai al-thibb al-nabawi (kedokteran Nabi). Imam Syafi‘i pernah menyampaikan bahwa setelah ilmu fikih tentang halal dan haram, ilmu yang paling utama adalah kedokteran (Bagir, 2020).
Upaya menjaga kesehatan—melalui kebersihan, pengaturan makan, dan olahraga—bukanlah tujuan akhir, apalagi jika didorong semata oleh ketakutan akan kematian. Kesehatan adalah jalan agar manusia dapat beribadah kepada Allah dengan lebih baik dan nyaman.
Dari pertanyaan sederhana seorang anak tentang matinya seekor ikan, kita dapat menanamkan pelajaran tentang takdir, pentingnya ikhtiar menjaga kebersihan, serta nilai moral untuk tidak serakah.
