Jika kematian seekor ikan merah bercorak hitam saja mampu memberi banyak pelajaran, apalagi kematian seorang manusia. Ikan itu hanya sebesar ibu jari. Dibiarkan di atas tanah, tak sampai tiga hari tubuhnya telah terurai. Kematian manusia jauh melampaui itu. Ia meninggalkan jejak pada banyak orang: kenangan yang melekat dalam ingatan istri, anak-anak, kerabat, dan sahabat—sejak kecil hingga tua.
Kabar kematian itu datang pada malam hari, Jumat (26/12), melalui seorang sahabat bernama Yakin. Ia mengabarkan wafatnya ayahanda dari sahabat kami, Iwan. Keduanya sama-sama penggiat Kalijagan. Ayahanda Iwan bernama Muhyiddin bin K.H. Mahfudz, bermukim di Lempuyang, Wonosalam, Demak. Almarhum dimakamkan pada Sabtu pagi, 27 Desember 2025, pukul 08.00 WIB.
Jenazah diantar oleh sanak saudara dan para tetangga. Banyaknya pengantar menjadi tanda penghormatan; di desa, memuliakan orang mati berarti mengantarkannya hingga ke liang lahat. Pak Muhyiddin dimakamkan di bawah naungan pohon maja, asam, dan waru. Setelah talqin, tahlil, dan doa, pusaranya ditaburi bunga. Para pengantar pun kembali ke rumah masing-masing. Di rumah duka, keluarga menyelenggarakan selamatan.
Bagi manusia, kematian adalah batas. Raga yang duniawi berpisah dengan ruh yang menuju alam akhirat. Saya sering bertanya-tanya: apakah diri ini raga yang ditempeli ruh, ataukah ruh yang sedang menempati raga? Kematian adalah garis penyeberangan menuju alam lain—sebagaimana kelahiran merupakan perpindahan dari alam kandungan ke alam dunia. Dalam pengertian ini, kematian adalah kelahiran kembali di alam yang berbeda.
Rasulullah saw., sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim, bersabda bahwa setelah kematian seseorang, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya. Inilah alasan mengapa manusia harus berbuat baik selama hidupnya. Harta digunakan untuk kebaikan: membantu tetangga yang membutuhkan, membangun tempat ibadah, menyokong pendidikan. Jika tak memiliki harta, senyum pun adalah sedekah.
Jika memiliki ilmu, ilmu itu mesti diajarkan. Ilmu yang datang dari Allah tidak boleh berhenti pada diri sendiri, apalagi ditutup-tutupi hingga menghalangi orang lain untuk mempelajarinya. Ilmu harus disampaikan. Di sinilah dasar dakwah: mencari ilmu untuk diamalkan dan disebarkan.
Yang terakhir adalah anak. Anak dapat menjadi anugerah jika tumbuh dalam kebaikan dan mendoakan orang tuanya setelah wafat. Namun anak juga bisa menjadi fitnah jika terjerumus dalam kemaksiatan, perjudian daring, atau pertikaian warisan. Karena itu, pendidikan yang tepat dan guru yang tepat menjadi ikhtiar agar anak kelak menjadi doa yang hidup bagi orang tuanya.
Kematian adalah nasihat. Ini merupakan hikmah para ulama: cukup kematian sebagai pemberi nasihat. Jika hati ingin dilembutkan, jenguklah orang sakit, hadirilah pemakaman. Kematian menasihati tanpa suara. Dalam hidup, manusia bisa saja terlalu lama bersenang-senang—tertawanya terlalu keras, jalannya terlalu tegap, hingga hatinya mengeras dan empatinya menipis. Kematian mengingatkan bahwa liang lahat adalah tempat terakhir, yang tak bisa dihindari siapa pun, seberapa pun hartanya. Tetangga-tetanggamulah yang kelak mengantarkanmu, merawat jasadmu, lalu meninggalkanmu sendiri bersama tanah di ruang yang sempit. Hari ini, saya menerima nasihat itu.
Kematian juga adalah zikir. Mendengar kabar duka, manusia diingatkan kepada Allah. Kita adalah makhluk dan akan kembali kepada Khalik. Kita semua adalah ‘abdu al-Khāliq, hamba Sang Pencipta. Ketika musibah datang—termasuk kematian—Al-Qur’an dalam Surah Al-Baqarah ayat 156 mengajarkan untuk mengucap: Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn—sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami kembali. Karena itu, kabar kematian hampir selalu diawali dengan ayat ini.
Demikianlah pelajaran dari kematian: ajakan untuk berbuat baik selama hidup, nasihat tentang akhir perjalanan manusia, dan kesadaran bahwa kita adalah hamba yang kelak akan kembali kepada-Nya. Semoga kita semua dapat mengambil hikmah, dan semoga Kang Iwan beserta keluarga diberi ketabahan.
Pada akhirnya, kematian menanggalkan semua yang semula kita banggakan. Nama, jabatan, harta, dan riwayat hidup berhenti di tepi liang lahat. Yang tersisa hanyalah jejak kebaikan—amal yang pernah mengalir, ilmu yang sempat menyala di hidup orang lain, dan doa anak-anak yang kita tinggalkan. Kematian tidak datang untuk menakut-nakuti, melainkan untuk meluruskan arah: bahwa hidup bukan tentang berapa lama kita tinggal, tetapi tentang apa yang kita titipkan sebelum pulang.
