Cinta, Pembuktian, Perjuangan, dan Kebanggaan

Hari ini, 30 Desember, saya menghadiri acara pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Wiyaka, Prof. Dr. Listyaning, dan Prof. Dr. Sutrisno. Bu Lis dan Pak Wiyaka adalah guru saya yang saat ini berkantor di ruangan yang sama dengan saya. Dalam kesempatan tersebut, saya menyampaikan salam hormat (mencium tangan) kepada ketiganya. Saya juga mengucapkan selamat dan terima kasih atas ilmu serta inspirasi yang telah mereka berikan selama ini.

Menjadi Guru Besar merupakan capaian tertinggi bagi seorang dosen yang mengemban tugas mengajar, mengabdi, dan meneliti. Di kampus kami, UPGRIS, capaian itu ditambah satu unsur penting, yaitu keteladanan. Seorang Guru Besar adalah dosen yang telah menuntaskan tugas-tugas tersebut secara utuh.

Meraih jabatan Guru Besar—yang kelak disapa Profesor—bukanlah perkara mudah. Diperlukan pemicu, daya tahan, dan tekad yang kuat untuk sampai pada titik ini. Seseorang memerlukan stamina, termasuk ketahanan fisik dan mental, agar mampu duduk lama menekuni tugas-tugas akademik. Mereka yang kini menyandang gelar profesor pun memulai perjalanan yang sama seperti mahasiswa S-1: menunggu dosen pembimbing berjam-jam, mengejar tanda tangan, dan menghadapi proses yang kerap melelahkan serta menguji kesabaran.

Pemicu atau penopang yang membuat seseorang mampu bertahan—memeras stamina, menguras pikiran, dan meredakan stres—berbeda-beda pada tiap individu. Ada yang menjadikan cinta sebagai pemicu, ada pula yang terdorong oleh pembuktian, bahkan oleh luka masa lalu.

Cinta sebagai modal, misalnya, terwujud dalam keinginan mempersembahkan capaian kepada orang tua yang telah mendidik, merawat, dan membesarkan. Doa senantiasa dipanjatkan agar raihan Guru Besar dapat dipersembahkan kepada mereka. Ada keyakinan bahwa gelar tersebut, meski sederhana, dapat menghadirkan kebahagiaan di hati ayah dan ibu sebagai balasan atas jerih payah mereka. Itulah sebabnya, dalam pidato pengukuhan, saat ucapan terima kasih kepada orang tua disampaikan, seseorang kerap menghela napas, berhenti sejenak, lalu menitikkan air mata karena haru.

Cinta juga dapat menjadi modal ketika seseorang ingin menjadi teladan bagi anak-anak atau adik-adiknya. Ia berharap, kelak, capaian itu bukan hanya dilihat sebagai prestasi, melainkan sebagai sumber inspirasi—terutama semangat juang yang menyertainya.

Pembuktian sebagai modal pun kerap dijumpai. Ada orang yang pada masa lalu disakiti, dihina, atau direndahkan oleh pihak tertentu. Prestasi kemudian dijadikan pemicu untuk bangkit dan melahirkan capaian di masa depan. Menjadikan pembuktian sebagai modal tidaklah keliru, selama tidak bermuara pada dendam dan kebencian. Pembuktian itu selesai ketika puncak telah diraih.

Cinta dan pembuktian kerap berkelindan, saling menopang, sehingga seseorang memiliki semangat dan keteguhan untuk menahan sakit, jatuh, bangkit, lalu jatuh dan bangkit kembali. Ia mengoptimalkan seluruh potensinya, menembus batas-batas yang semula tampak mustahil.

Setiap orang, dalam posisi apa pun, berhak dan layak berjuang dengan memusatkan pikiran serta tenaganya—bermodal cinta maupun pembuktian—untuk mengusahakan apa yang diinginkannya. Setiap orang juga berhak berbangga atas raihan apa pun yang telah dicapai. Sebagai nasihat untuk diri sendiri: “Berjuanglah karena Tuhan memerintahkanmu untuk berjuang. Sejauh apa pun capaiannya, Tuhan akan memberikan yang terbaik.”

 

0Shares
Dosen di Universitas PGRI Semarang. Penulis buku Soko Tatal dan kumpulan cerpen Di Atas Tumpukan Jerami. Penggiat di Simpul Gambang Syafaat Semarang dan Maiyah Kalijagan Demak.
Pos dibuat 159

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mulai mengetik pencarian Anda diatas dan tekan enter untuk mencari. Tekan ESC untuk batal.