Antara Tukang dan ChatGPT

Kami berada di ruang tamu. Saya mengenakan kaus kaki, dan istri saya duduk di depan saya. Saya bersiap untuk berangkat beraktivitas ke luar rumah. Agenda saya hari ini, pertama, ke rumah sakit mengambil obat untuk mertua. Ada agenda lagi pada siang hingga sore hari, yaitu mengajar. Sedangkan istri, seperti biasa, mencuci pakaian dan mengantar anak. Di sela-sela itu ia menulis dan membaca buku, karena ia adalah penulis. Menulis bisa ia lakukan di mana saja: di meja makan, tempat tidur, ruang tamu, bahkan di teras.

Saat bersiap berangkat itu saya melontarkan cerita tentang kunjungan saya ke rumah teman beberapa waktu lalu. “Rumahnya tidak luas, Bu. Tetapi ditata dengan baik. Ringkas dan lucu. Salah satu kuncinya adalah karena dia biasa menatanya sendiri sehingga dapat mendesain sekaligus mengeksekusi sesuai keinginannya,” terang saya.

Pagi itu tampaknya matahari akan bersinar setelah beberapa hari sebelumnya sering redup. Terdengar suara gemericik air dari akuarium di pojok ruangan yang ikannya tinggal dua ekor. Istri saya menjawab, “Iya, kendala kita pada tukang. Tak banyak tukang yang dapat mengeksekusi ide-ide kita. Mungkin selera kita beda dengan tukang. Kita mendengar lagu-lagu jazz sedangkan tukang mendengar sound horek. Kita melihat desain-desain industrial di Instagram, sedangkan tukang biasa mengerjakan bangunan praktis di perumahan.”

Saya jadi teringat peristiwa ketika kami merenovasi teras beberapa waktu lalu. Tukang mengerjakan tidak sesuai dengan keinginan kami. Kami selalu berdebat, dan ia mengerjakannya ketika kami tidak memantaunya. Kejadian seperti ini tidak hanya sekali dua kali dan tidak hanya dilakukan oleh satu tukang. Akhirnya kami pasrah saja. Kami harus menerima hasil pekerjaan tukang tersebut. Mungkin akan berbeda jika dipasrahkan kepada desainer interior sekaligus eksekusinya, tetapi pasti dompet saya tidak cukup. Kenapa mahal? Karena prosesnya pasti lebih panjang.

Lalu saya katakan kepada istri saya, “Tukang itu seperti ChatGPT. Ia tidak mengenal kita sebelumnya. Ia tidak tahu selera kita. Ia tidak tahu impian kita. Ia tidak tahu pengalaman kita. Maka ia tidak dapat menerjemahkan hasrat kita. Agar ChatGPT mampu melukiskan keinginan kita, kita harus mengenalkan diri terlebih dahulu—siapa kita, umur berapa, dari suku apa, pengalaman, visi hidup—nanti dia akan memberikan alternatif jawaban sesuai dengan keinginan kita. Dia akan memahami keinginan kita.”

Ini sesuai dengan pengalaman saya. Saya adalah seorang ilustrator poster yang tidak dapat menggambar. Untuk gambar-gambar yang serius, dulu saya meminta bantuan teman yang dapat menggambar. Untuk poster-poster gratisan, saya terbantu dengan ChatGPT. Saya pernah sangat frustrasi karena ChatGPT memberi gambar tidak sesuai keinginan saya. Langkahnya kemudian saya ubah. Saya ceritakan secara detail mulai dari ukuran, warna, bentuk, komponen, gaya lukisan. Semakin detail keterangan yang saya sampaikan, maka ChatGPT akan memberikan gambar semakin baik. Kiranya demikian juga dengan tukang. Namun tidak banyak tukang yang mau bekerja demikian, karena pasti lebih rumit dan lebih lama. Ia akan melakukan seperti biasanya ia bekerja.

 

0Shares
Dosen di Universitas PGRI Semarang. Penulis buku Soko Tatal dan kumpulan cerpen Di Atas Tumpukan Jerami. Penggiat di Simpul Gambang Syafaat Semarang dan Maiyah Kalijagan Demak.
Pos dibuat 147

2 tanggapan pada “Antara Tukang dan ChatGPT

  1. Wah, kesabaran itu memang tidak boleh terbatas ya Kang. Seperti sabar menghadapi tukang. Hehe. Sukses selalu Kang Hajir. Eh, Pak Hajir hehe, dosen sy kala di PPG Prajabatan 2023 kemarin. Sehat selalu, Bapak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mulai mengetik pencarian Anda diatas dan tekan enter untuk mencari. Tekan ESC untuk batal.