Ada pesan masuk di ponselku: “Mas, kirim cerpen sepanjang kira-kira 1.000 kata.” Pesan itu dari seorang teman yang kini menjadi redaktur sebuah majalah. Saya langsung menyanggupinya. Menulis—baik fiksi maupun nonfiksi—memang sudah menjadi kegemaranku sejak kuliah. Saat kecil, saya adalah pembaca setia buku dan majalah langganan Bapak. Namun, waktu itu saya belum punya keinginan menjadi penulis; baru ketika kuliah, keinginan itu muncul. Dalam benak saya terlintas pertanyaan: bagaimana caranya memiliki keterampilan menulis seperti ini? Saya membaca banyak sekali cerita, mendengarkan obrolan para penulis, membaca buku-buku kiat menulis, dan mulai mencoba menulis sendiri.
Saya mulai menulis menggunakan mesin ketik manual milik Bapak. Prosesnya sederhana: saya menulis dulu di kertas, penuh koreksi dan coretan sana-sini, baru kemudian mengetiknya. Tahun 2002, Bapak membeli komputer tabung. Banyak pekerjaan keluarga dikerjakan lewat komputer itu—tugas Bapak dan dua kakak saya yang menjadi guru. Saya belajar mengetik diajari oleh Om saya, Pak Mas. Beliaulah yang mengajarkan saya mengetik manual dan juga naik sepeda motor.
Setelah itu saya mulai menulis cerpen dan artikel menggunakan komputer, lalu mengirimkannya. Saat itu karya dikirim dalam bentuk cetak melalui pos, dan honor dikirim lewat wesel. Seingat saya, setelah kiriman kedua puluh, tulisan-tulisan saya mulai dimuat di media massa. Rasanya senang sekali melihat foto diri muncul di koran dan mendapatkan honor. Pada masa itu, surat kabar memiliki kekuatan signifikan—sekali seseorang dimuat, seluruh kampus mengetahuinya.
Pekan lalu, seorang teman lain yang menjadi redaktur opini di sebuah media online juga meminta saya menulis. Tentu saja saya senang karena ide-ide saya terbaca. Kalaupun tidak diminta menulis di media-media itu, saya tetap akan menulis di web pribadiku, www.kanghajir.com, atau di Instagram @muhajir_upgris. Soal ada yang membaca atau tidak, saya tidak peduli. Saya bukan tipe manusia FOMO yang bergerak karena apresiasi orang lain. Bagi saya, menulis adalah cara menunjukkan sikap kita terhadap sesuatu. Setidaknya Tuhan tahu posisi saya di mana—seperti kisah semut yang membawa air ketika Ibrahim hendak dibakar hidup-hidup. Air semut itu tentu tidak mampu memadamkan api, tetapi Tuhan menghargai sikap semut itu. Tuhan tahu ia berada di barisan Ibrahim.
Dulu, menulis dan mengirimkannya ke media belum tentu dimuat. Mengapa sekarang malah diminta langsung oleh redaktur? Apakah saya sudah sehebat Sukarno yang bisa menghentikan langkah wartawan untuk menitip tulisan? Atau seperti Gus Dur yang datang ke ruang redaksi majalah, meminjam mesin ketik, menulis sebentar, lalu menyerahkan tulisannya saat itu juga? Tentu saja tidak begitu.
Saya tumbuh di lingkungan yang akrab dengan dunia menulis. Teman-teman saya adalah para penulis. Kami bertumbuh bersama: saya menjadi dosen, ada yang menjadi wartawan, ada yang menjadi pejabat. Teman yang menjadi pejabat terkadang mengundang saya sebagai pembicara di instansinya. Ada pula yang menjadi redaktur dan mengundang saya menulis seperti sekarang.
Benar kata orang: berkumpullah dalam lingkungan yang baik dan bertumbuh. Jika mereka bertumbuh, kamu pun ikut bertumbuh. Dalam bahasa gaul, ini disebut circle, yang berarti lingkungan. Jika lingkaran itu bergerak, kamu akan ikut bergerak. Jika lingkaran itu seperti bola salju, makin lama ia akan membesar. Maka berhati-hatilah memilih lingkungan.
