Mengenang Kak Titi

Pintu kamarmu kau tutup rapat. Dari baliknya terdengar bunyi tut-tut keyboard, melantunkan lagu sendu yang berulang-ulang. Aku tahu kau sedang bersedih, tetapi Bapakmu ini tak pernah benar-benar tahu cara menyembuhkan luka semacam itu. Mungkin inilah patah hati pertamamu dalam hidup.

Sudah tiga tahun terakhir kau belajar menyanyi kepadanya. Kau memanggilnya Kak Titi—Ujianto Timotius Nugroho, nama lengkapnya. Dua tahun terakhir pula kau belajar memainkan keyboard darinya. Setiap pekan kau menemuinya dua kali: hari Rabu untuk berlatih menyanyi, hari Sabtu untuk les musik keyboard.

Pertemuan terakhirmu dengannya adalah Rabu lalu. Seperti biasa, kau diantar ibumu pada sore hari sepulang madrasah. Kau anak yang tak pernah kehilangan semangat. Apa pun keadaannya—hujan atau banjir—kau tetap minta diantar berlatih. Pada pertengahan Desember ini, bersama teman-temanmu yang juga belajar menyanyi dan musik, kau merencanakan sebuah konser kecil.

Kamis sore, kau dan ibumu pergi ke swalayan memilih pakaian yang akan kau kenakan saat konser itu. Hari-hari terakhir kau berlatih lebih sungguh-sungguh, seolah waktu sedang dikejar. Kau memilih baju berwarna hitam. Baju itu terbeli. Kalian hendak pulang. Namun di parkiran, sebuah pesan masuk:
“Kak Titi meninggal dunia.”

Duniamu runtuh seketika. Kau, anakku, menangis keras, dan aku, Bapakmu, tak mampu berbuat apa-apa. Aku tak bisa menghiburmu. Aku tak bisa menghidupkan orang mati. Itulah yang disebut takdir—sesuatu yang tak dapat ditawar atau ditolak. Satu-satunya yang tersisa hanyalah belajar menerimanya.

Hari ini hari Sabtu. Biasanya kau datang ke rumahnya, duduk di depan keyboard, membunyikan tut-tut yang perlahan menjelma nada merdu. Namun hari ini, pada jam yang sama, gurumu—guru yang sangat kau sayangi—sedang diberangkatkan ke Krematorium Kudung Mundu.

Denting-denting itu kini mengalun pilu, Nak. Seolah-olah jemari kecilmu masih dipandu, dan gurumu berdiri diam di belakangmu, membimbing dengan cara yang tak lagi terlihat.

0Shares
Dosen di Universitas PGRI Semarang. Penulis buku Soko Tatal dan kumpulan cerpen Di Atas Tumpukan Jerami. Penggiat di Simpul Gambang Syafaat Semarang dan Maiyah Kalijagan Demak.
Pos dibuat 147

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mulai mengetik pencarian Anda diatas dan tekan enter untuk mencari. Tekan ESC untuk batal.