Apa Salahnya Ibu Mengambil Rapor?

Desember, pekan terakhir tahun 2025. Tak lama lagi kalender lama akan diturunkan dan diganti dengan kalender baru. Pemerintah sibuk memoles citra terkait penyebab dan penanganan bencana di Sumatra dan Aceh. Para ibu menghitung ulang anggaran belanja rumah tangga karena harga-harga kebutuhan naik dengan alasan klasik: “Akhir tahun dan Hari Raya Natal.” Pada saat yang sama, anak-anak sekolah mengakhiri ujian dan bersiap mengambil rapor. Tiba-tiba muncul imbauan dari pemerintah agar ayah yang mengambil rapor anak.

Hal itulah yang menjadi bahan obrolan saya dengan istri pagi ini. Saya berkata kepada istri, “Kebijakan semacam itu tidak substansial. Memangnya apa salahnya jika yang mengambil rapor itu ibu?” Menurut saya, mengambil rapor bisa dilakukan oleh siapa saja—boleh ayah, boleh juga ibu. Siapa yang memiliki waktu luang, dialah yang mengambil. Di keluarga kami, misalnya, ada pembagian peran: saya bekerja mencari nafkah di luar rumah, sementara istri mengurus anak di rumah. Karena itu, istri yang lebih memungkinkan mengambil rapor. Jika kondisinya dibalik—istri bekerja dan saya di rumah—tentu sayalah yang akan mengambil rapor.

Apa sebenarnya substansi dari kewajiban ayah mengambil rapor? Apakah sebagai bentuk perhatian atau wujud kehadiran seorang ayah dalam kehidupan keluarga? Jika demikian, hal itu lebih bersifat simbolik. Perhatian dan kehadiran orang tua dapat diwujudkan dalam banyak cara dan pada berbagai kesempatan: mengajak anak berjalan-jalan di akhir pekan, makan malam bersama, atau mengaji bersama. Mengambil rapor hanyalah bagian kecil dari keseluruhan bentuk kehadiran itu.

Seharusnya negara tidak perlu mengurusi hal-hal remeh semacam ini. Kebijakan seperti ini justru berpotensi melukai perasaan anak-anak yang tidak memiliki ayah—entah karena ayahnya telah meninggal, orang tuanya bercerai, atau ayahnya harus merantau untuk bekerja. Anak-anak bisa merasa dirinya tidak utuh.

Saya pernah memiliki pengalaman terkait hal ini. Suatu kali, saya mengambil rapor adik sepupu karena ayah dan ibunya bekerja di pabrik. Rapor itu hampir saja tidak diberikan oleh guru. Ibu guru bertanya, “Ke mana orang tuanya?”

Saya menjelaskan, “Orang tuanya bekerja di pabrik sehingga tidak bisa datang. Saya diberi amanah untuk mengambilkan.”

Ibu guru tersebut lalu mengatakan bahwa dirinya juga bekerja dan tetap bisa mengambil rapor anaknya pagi itu. Saya pun terpaksa memberikan penjelasan panjang lebar. “Bu Guru, orang tua anak ini bekerja untuk mencari nafkah—nafkah yang digunakan untuk biaya sekolah dan kebutuhan keluarga. Mereka tidak bisa izin sebentar untuk mengambil rapor karena di pabrik tidak ada mekanisme izin khusus untuk keperluan itu.”

Akhirnya, rapor diberikan dengan syarat saya harus membawa surat kuasa dari orang tua keesokan harinya. Saya menolak karena itu hanya membuang waktu. Saya sudah meluangkan waktu hari ini dengan meninggalkan pekerjaan saya. Akhirnya, saya keluar sebentar untuk membuat surat tersebut dan menandatanganinya sendiri.

Pada dasarnya, pengambilan rapor adalah proses komunikasi antara guru dan orang tua mengenai perkembangan peserta didik. Di situ guru menyampaikan kelebihan anak, potensi yang dimiliki, serta hal-hal yang perlu ditingkatkan. Proses pendidikan adalah kerja sama antara murid, guru, dan orang tua. Orang tua tidak boleh bersikap cuek dan menyerahkan sepenuhnya urusan pendidikan kepada guru. Mereka juga harus terlibat aktif: memberi teladan, mengingatkan anak agar tidak tidur terlalu larut, serta mengajak anak mengulang pelajaran di rumah.

Dalam keluarga kami, komunikasi dengan guru anak-anak sudah berlangsung intens melalui telepon genggam. Sekolah anak-anak kami juga sangat dekat; para guru sering melintas di depan rumah. Karena itu, komunikasi bisa dilakukan kapan saja tanpa harus menunggu momen pengambilan rapor. Maka, ketika tiba waktu pembagian rapor, anak-anak kami mengambil rapor mereka sendiri. Hu hu hu.

 

0Shares
Dosen di Universitas PGRI Semarang. Penulis buku Soko Tatal dan kumpulan cerpen Di Atas Tumpukan Jerami. Penggiat di Simpul Gambang Syafaat Semarang dan Maiyah Kalijagan Demak.
Pos dibuat 150

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mulai mengetik pencarian Anda diatas dan tekan enter untuk mencari. Tekan ESC untuk batal.