Tradisi kita, anak setelah lahir dicukur rambutnya hingga gundul. Rambut yang terbawa dari dalam perut ibu disebut rambut bajang harus dipotong. Maka pada setiap bayi, kita saksikan kepala yang terbuka dengan ubun-ubun yang bergerak seperti bernapas. Atas banyak alasan, rambut Nawa tidak kami potong setelah dia lahir. Hanya saya potong sedikit saat acara aqiqoh. Sampai usianya hampir dua bulan ia masih tampak gondrong. Kami sayang sekali kalau rambut indah itu tanggal. “Nanti kan tumbuh lagi” kata tetangga.
Aku jawab, “Tidak dipotong kan ya nanti tanggal sendiri?” jawabku pada tetangga.
Banyak orang menyeru agar kami memotong rambut Nawa, ibuku juga. Saat jalan-jalan di kampung ada tetangga yang resah sekali dengan rambut Nawa yang utuh gondrong. Seperti kegondrongan Nawa akan berpengaruh pada nasibnya. Ia datang ke rumah mengingatkan ibunya. Dijawab Ibu Nawa “Tidak boleh dipotong oleh Bapaknya”.
Saat aku mengajak Nawa jalan-jalan ia secara khusus bertanya padaku, “Itu rambutnya mau dipotong kapan Mas?”
Aku menjawab “Tidak akan dipotong”
“Oh mau dibajang” katanya.
Saat aku antar Nawa untuk pijat, Mbah Dukun juga bilang, “Jika boleh nanti Kamis Pahing anakmu bawa ke sini, biar saya potong rambutnya.”
Aku dan istri bukan ngeyel pada tradisi. Sepengetahuanku, batok kepala bayi masih terbuka, jadi rambut masih dibutuhkan. Justru jika mau memotong rambut agak nanti jika anak sudah agak besar.
Itulah uniknya masyarakat kita, perhatian dan suka menjaga satu sama lain. Aku ambil sisi positifnya. Mereka begitu karena mereka peduli. Meskipun tidak semua aku turuti.