Waktu luang anak kita

Kita telah sepakat bahwa waktu adalah hal yang sangat penting. Ada yang mengibaratkan waktu adalah uang karena menurutnya uang adalah hal yang penting. Ada yang menyamakan waktu adalah busur panah karena setelah dilepas ia tidak bisa kembali. Maka alangkah sayangnya jika waktu anak-anak kita terbuang begitu saja. Bagaimana seseorang pada masa datang dapat dilihat dari apa yang dilakukan pada hari ini.

Lalu mari kita tengok digunakan untuk apakah waktu luang anak-anak kita? Belajarkah, bermainkah? Atau bermain HP? Tentu saja tidak salah bermain HP yang sekarang dikenal dengan smartphone karena dari sana berbagai informasi dapat diakses. Tetapi jika kemudian pasif dan tidak produktif, dan tidak melakukan apa-apa selain itu, maka kita perlu merumuskan ulang proses belajarnya.  

Sesuatu yang berlebihan tentu saja tidak baik. Menggunakan HP yang berlebihan membuat anak sedikit gerak. Hal ini mengancam pertumbuhan dan kesehatannya. Di Finlandia sebagaimana disampaikan oleh Timothy D. Walker dalam buku Teach Like Finland, Mengajar seperti Finlandia, kurikulum didesain sedemikian rupa agar anak bergerak. Duduk dan berdiam diri tanpa bergerak menjadi sebab banyak penyakit. Program agar anak-anak lebih aktif itu disebut Finnish Schools on The Move. Program ini didasari oleh penelitian tentang kegiatan fisik anak Finlandia mendapatkan nilai D. Artinya kegiatan fisik anak sangatlah kurang. Maka kegiatan sekolah diupayakan bergerak. Sebagai contoh, untuk mempelajari sesuatu anak-anak dibuat kelompok. Setiap kelompok membuat mading dan ditempel di dinding kelas. Lalu secara bergantian anak-anak mengunjungi mading kelompok lainnya. Ada penjaga mading yang menerangkan dan menjawab tentang materi yang telah digubah menjadi mading tersebut. Dengan begitu anak menjadi aktif otak dan badannya. 

Tampaknya anak-anak Indonesia menuju generasi yang kurang bergerak itu. Banyak faktor yang menyebabkannya. Jika dulu anak-anak bisa leluasa bermain dengan teman sepermainannya pada waktu luangnya, sekarang tidak lagi. Dulu anak-anak bisa bermain layang-layang di lapangan atau di sawah pada sore hari, bermain permainan tradisional pada malam hari lebih-lebih pada bulan purnama. Saat bermain itu tubuh anak-anak bergerak lepas mengeluarkan keringat bercucuran.  

Sekarang hal itu tidak lagi terjadi, atau paling tidak berkurang. Kegiatan anak yang sifatnya komunal sudah sangat berkurang. Banyak faktornya, misalnya karena ruang publik untuk bermain sudah sangat berkurang. Kampung yang dulu disebut kampung halaman karena banyak halamannya sekarang sudah habis karena dibangun rumah-rumah. Orangtua juga khawatir atas keselamatan anaknya jika mereka beraktifitas di luar rumah tanpa pantauan orangtua. Akibatnya anak banyak beraktifitas di rumah. Sialnya tidak banyak aktifitas yang bisa dilakukan di dalam rumah, apalagi jika anak yang tidak memiliki teman sepermainan di rumah. Maka waktu luang anak secara alami dihabiskan di depan perangkat elektronik yang hanya membutuhkan aktifitas mata dan jari. Anggota tubuh lain nyaris tidak bergerak. 

Artinya ada banyak hal yang hilang pada diri anak. Aktifitas dengan teman sebaya memungkinkan anak untuk belajar bersosialisasi, berkomunikasi, dan bekerjasama. Dalam permainan bersama yang dilakukan secara komunal memungkinkan anak untuk belajar itu semua. Komunikasi, kerjasama, bersosialisasi sangat dibutuhkan anak ketika nanti mereka hidup di tengah masyarakat. Tutur kata tidak sopan yang membiak di komentar-komentar media sosial ditengarai karena mereka tidak bertemu langsung sehingga tidak timbul empati dan saling menghormati. 

Lalu apa solusinya? Pertama adalah membangun lingkungan. Jika orangtua khawatir dengan pergaulan anak, maka secara kerjasama orangtua harus ikut serta membangun lingkungan anak berbasis kampung. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Pak Kasur dan Bu Kasur dulu. Mereka mendirikan sanggar Taman Putra dan Taman Pemuda di rumahnya. Dengan itu waktu luang anak antara satu kegiatan dengan kegiatan yang lain bisa tersalur dengan baik. Anak bisa mengembangkan potensinya secara optimal misalnya membuat hasta karya, bermain musik, bermain drama, mendongeng, melukis, dan lain sebagainya. Kegiatan pada waktu luang ini bisa dikembangkan melalui remaja masjid, perpustakaan kampung, atau karangtaruna. 

Selama ini wadah bermain hanya disediakan kepada anak usia dini melalui PAUD dan pos PAUD, padahal remaja juga membutuhkan itu. Maka pilihan anak dan anak remaja adalah bermain di rumah dengan smartphone karena orangtua tidak menyediakan sarana yang cukup untuk mengisi waktu luang di rumah, orangtua juga tidak punya waktu untuk menemani anak untuk mengisi waktu luangnya seperti mendongeng, bermain petak umpet misalnya.  Pilihan yang lain adalah berkumpul pada lingkungan yang tidak benar, lingkungan yang dikhawatirkan oleh orangtua tersebut. Mari bangun lingkungan untuk tumbuh kembang anak kita.

 

Muhajir, S.Pd. M.Hum, dosen PBSI FPBS Universitas PGRI Semarang. 

0Shares
Dosen di Universitas PGRI Semarang. Penulis buku Soko Tatal dan kumpulan cerpen Di Atas Tumpukan Jerami. Penggiat di Simpul Gambang Syafaat Semarang dan Maiyah Kalijagan Demak.
Pos dibuat 134

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mulai mengetik pencarian Anda diatas dan tekan enter untuk mencari. Tekan ESC untuk batal.