Cangkem Landep

Malam hari istriku pulang dari Rumah Sakit, ia menunggui Bapaknya yang sedang di rawat di sana. Ia cerita bahwa salah satu teman Bapaknya menjenguk dan bilang kepadanya, “Oh iki toh sing kuliah S2 tapi nganggur.”

Saya terdiam sejenak mendengar kata-kata yang keluar dari mulut istriku. Rasanya ingin saya bertemu dengan Bapak yang bilang kepada istriku itu. Saya ingin katakan betapa hati-hati saya menjaga hatinya agar tidak terluka. Betapa saya berusaha keras untuk meleraikan kejolak dalam hatinya yang harus menerima keadaan di rumah saja. Ia perempuan yang sekarang menjadi istriku itu adalah perempuan yang sangat aktif. Ia menulis di berbagai media. Ia mengisi seminar, pelatihan, dan berbagai acara. Keadaanlah yang harus membuatnya di rumah. Itu karena keadaan, bukan pilihannya dan bukan karena ku.

Saya mulanya benar-benar ingin bertemu dengan Bapak yang cangkemnya landep itu. Tetapi istriku melerai. Dia mengingatkan pada kata-kata indah ini, “Sesuatu yang dari luar itu sifatnya netral, bergantung bagaimana kita meresponnya.” Ok aku yang tadiya naik darah mulai stabil. Memang ada saja orang yang landep cangkeme, tajam kata-katanya. Ia tidak berpikir bahwa kata-katanya itu dapat menyakiti orang lain. Ia tidak punya empati. Ia hanya mengukur kehidupan dari para meter dirinya. Ia hanya memandang kehidupan dari sudut pandang dirinya belaka.

Bapak itu setelah mengatakan kepada istriku ‘S2 pengangguran’ lalu bilang, “Eman-eman Mbak.” Dilanjutkan dengan membanggakan anak-anaknya yang bekerja dimana, dengan gaji berapa. Ia cerita tentang kesuksesan-kesuksesan, capaian-capaian. Saya tidak peduli tentang kesuksesan orang lain. Apa urusannya denganku.

Ingin rasanya mengajak ngopi Si Bapak Cankem Landep ini. Silakan dia pilih tempat ngopi paling mewah. Saya silakan dia memesan menu paling mahal dan saya yang traktir. Setelah dia kenyang saya akan katakan ini kepadanya:

Pak, dia istriku. Dulu aku nikahi ketika dia belum lulus kuliah. Biaya kuliah S1 satunya di akhir kuliah aku yang bayar. Kemudian dia kuliah S2 hanya  untuk mengisi waktu luang. Waktu itu kami sudah menikah. Kami tinggal di kontrakan. Aku sering pulang telat karena waktu itu di Humas. Istriku sering sendirian. Daripada tidak ada kegiatan maka dia kuliah. Toh uang ada dan tidak jadi masalah bagiku. Yang jelas, uang kuliah itu tidak meminta bantuan darimu wahai pak Cangkem Landep.

Pada masa kuliah itu dia hamil dan kemudian anak kami yang pertama lahir. Anak itu laki-laki yang ganteng. Pada masa itu kami pindah tempat tinggal dari rumah kontrakan ke rumah sendiri. Ketika usia anakku menjelang dua tahun dia sakit dan kemudian meninggal. Biaya rumah sakit yang tidak sedikit itu juga tidak meminta dirimu. Ada sesuatu yang sifatnya traumatik terhadap pengasuhan anak setelah anak pertama meninggal. Rasanya anak yang setelahnya harus direngkuh sendiri. Anak pertama dulu diasuhkan orang karena masih harus menyelesaikan kuliah.

Pada anak kedua yang kami beri nama Bening, istriku masih dalam kesibukannya. Ia mengelola PAUD yang didirikan oleh orangtuaku. Anak ini dibawa kesana-kemari. Ia berangkat pagi ke membawa anak yang usianya dua tahun menempuh perjalanan tiga puluh menit dan siangnya pulang lagi.  Ketika Bening masuk TK pada sebelum Kovid mulai mewabah adik Si Bening lahir.  Pada saat inilah istriku mengundurkan diri dari PAUD. Ia kewalahan harus mengasuh dua anak dan mengelola PAUD yang jaraknya jauh. Paska itu dia total di rumah.

Salah jika menuduhnya dia pengangguran. Ia sibuk dari bangun tidur hingga tudur lagi. Pagi hari dia menyiapkan sekolah anak-anak, mulai dari sarapannya, bajunya, memandikan, hingga mengantar. Siang hari Bening sekolah madrasah diniah, sore hari Bening les menyanyi dan les kayboard, malam hari anak-anak mengaji. Itu semua membutuhkan kesiapan dan antar jemput. Itu semua membutuhkan konsentrasi dan tenaga.

Kenapa saya seperti mau klarifikasi, apa pentingnya saya menjelaskan? Sudah-sudah paling tidak dari sini kita bisa belajar bahwa setiap orang punya kehidupannya sendiri, punya alasannya sendiri dan kita tidak perlu ikut campur. Kita tidak tahu apa yang terjadi pada kehidupan orang lain.

0Shares
Dosen di Universitas PGRI Semarang. Penulis buku Soko Tatal dan kumpulan cerpen Di Atas Tumpukan Jerami. Penggiat di Simpul Gambang Syafaat Semarang dan Maiyah Kalijagan Demak.
Pos dibuat 141

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mulai mengetik pencarian Anda diatas dan tekan enter untuk mencari. Tekan ESC untuk batal.