MEK BANYU

Musim kemarau begini sumur-sumur di kampungmu kering. Tapi ada satu sumur yang masih terus mengalir sumbernya. Sungai itu berada di kebon, di antara pohon-pohon. Mungkin itulah yang menyebabkan sumbernya terus mengalir. Dulu sumur itu adalah sumur rumahan. Pernah ada rumah gedong di kampung ini. Rumahnya Mbah Carik Sosrowijoyo. Kamu tidak pernah melihatnya. Jauh sebelum kau lahir, dia sudah meninggal. Kau hanya menemui tanahnya yang menghampar luas tidak berpenghuni. Anak-anaknya tidak ada yang tinggal di kampung itu. Anak-anaknya ia sekolahkan tinggi, kemudian mereka tinggal di Jakarta. Belum tentu setahun sekali mereka pulang ke kampung, karena sudah tidak ada rumah berdiri. Jika mereka pulang, yang mereka temui adalah kuburan Mbah Carik Sosrowijoyo.

Sumur ini tidak ada yang menghiraukan saat musim normal. Ia terbengkalai di antara rumput-rumput liar dan pohon-pohon, namun jika musim sangat kering hingga sumber-sumber tidak mengalir, maka orang-orang kemudian ingat dengan sumur ini. Orang-orang bekerjabakti untuk membersihkannya, dan mengurasnya. Daun-daun dan lumpur yang ada di dalam sumur dikeluarkan. Sumur itu tidak dalam, tapi sumernya luar biasa banyak. Satu orang mengambil airnya hingga habis, orang lain yang mau mengambilnya hanya perlu menunggunya beberapa saat dan air itu sudah ada lagi. Ada satu lagi yang unik, tanah di sekeliling sumur itu adalah tanah berpasir, padahal tanah kampung adalah tanah liat.

Kau menyebutnya sumur Ibu karena menaungi kampung dari kekeringan. Orang kampung tetap bisa mandi, memasak, meskipun kekeringan melanda berkepanjangan. Sumur menjadi tempat bertemu dan bertegur sapa.

Orang-orang datang dari dekat dan jauh untuk mengambil air di sumur itu. Ada yang memikul air menggunakan ember, klenting gerabah, ada pula yang mengangkutnya menggunakan gembes dan bersepeda. Untung sekali sumur itu tidak jauh dari rumahmu. Hanya seratus meter di belakang rumahmu. Mengambil air di sumur itu adalah pekerjaanmu saat musim kemarau panjang melanda. Kau bersama kakakmu mendapat tugas memastikan gentong ibu penuh, kolah kamar mandi juga penuh. Jika kolah dan gentong belum penuh kau belum dibolehkan bermain. Tugas itu kadang kau lakukan pagi hari sebelum berangkat sekolah, kemudian kau lanjutkan siang hari setelah pulang sekolah, dan kau lanjutkan lagi sore hari sepulang sekolah madrasah diniah.

Air dari sumur ke gentong rumah ibumu kau angkut menggunakan pikulan. Aku terangkan tentang cara mengangkutnya biar kalian paham. Air-air dari sumur ditimba, dimasukkan ke dalam ember yang ukurannya sama. Ada pikulan dari bambu, dua sisi pikulan itu terdapat besi. Besi inilah yang nanti menghubungkan antara bambu dengan ember. Kau melakukannya berulang kali hingga pundakmu lecet-lecet. Kau harus cepat dan segera menyelesaikannya jika kau tidak ingin ketinggalan bermain dengan teman-temanmu.

Setelah semua usai, pada hari jumat pekerjaan mengambil air di sumur biasanya lebih cepat selesai karena madrasah diniah libur. Maka setelah semuanya usai kau cari teman-temanmu bermain dimana. Di kampung masih banyak kebun. Kampung tertutup oleh rimbun. Adalah kesedihan yang mendalam jika tidak mendapati dimana teman-temanmu bermain. Kau akan mencarinya di sawah, di sungai, di bawah rimbun bambu.

Semua permainan pada masa kecilmu adalah permainan komunal, sebuah permainan yang tidak bisa dimainkan sendiri. Harus ada partner, harus dimainkan bersama-sama. Permainan pada masa kecil itu misalnya englek bruk, tong buk, betengan, sodoran, lompatan, layangan, dan lain sebagainya.

0Shares
Dosen di Universitas PGRI Semarang. Penulis buku Soko Tatal dan kumpulan cerpen Di Atas Tumpukan Jerami. Penggiat di Simpul Gambang Syafaat Semarang dan Maiyah Kalijagan Demak.
Pos dibuat 134

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mulai mengetik pencarian Anda diatas dan tekan enter untuk mencari. Tekan ESC untuk batal.