DUIT LANANG

Sudah satu minggu Halimah menginap di apartemenku. Dua minggu yang lalu dia menghubungiku, satu minggu berikutnya aku menjemputnya di stasiun dan membawanya kemari. Aku masih ingat betul telepon dari Halimah waktu itu, “Mi, akumau kerja di Jakarta seperti kamu. Sumpek di kampung, tidak ada pekerjaan di sini. Bandrun suamiku, malas bekarja. Kesibukannya hanya menyenangkan diri saja. Setiap pagi berangkat mancing. Dia pikir anak-istrinya bisa dihidupi dari ikan-ikan yang dipancingnya. Kamu tahu sendiri toh Mi. Sungai-sungai sudah tidak seperti dulu, sekarang lebih banyak sampah plastiknya dari pada ikannya, ikan yang di dapat dari mancing hanya beberapa biji dalam sehari, tak bisa dijual untuk beli beras. Sore hari Badrun duduk di depan rumah bermain-main dengan burungnya. Mangkel aku Mi, punya suami tidak berpikiran maju. Nerimo ing pandum, katanya. Ia tidak ingin membuat rumah gedong, punya kendaran yang bagus, naik haji atau setidaknya umroh lah. Mi bantu aku ya?”

Halimah menangis. Meskipun aku ikut sedih aku tidak kaget dengan keadaan Halimah itu. Kasus semacam Halimah itu ratusan dan dari dahulu kala. Begitu juga aku, alasanku pergi dari kampung tidak lain mau mencari duit mberah, uang yang banyak. Meskipun pada kenyataannya tidak semudah yang dibayangkan. Di sini memang banyak pekerjaan bagi yang punya keterampilan. Banyak orang yang gagap, tidak siap mental dan keterampilan. Keterampilan yang mereka bisa dikampung tidak bisa digunakan di sini atau sering malu-malu mengungkapkan sesuatu.

Aku kenal Badrun, lelaki itu adalah lelaki idola di kampung dulu ketika kami masih usia belasan tahun. Tubuhnya legam berotot, tinggi, rambutnya ikal. Si Badrun pintar berenang di sungai. Ia selalu mendapatkan ikan banyak saat mencari ikan. Badrun dan Halimah rupanya berjodoh. Mereka pasangan yang pas saat duduk di pelaminan. Seorang laki-laki yang gagah bersama perempuan yang lembut semampai. Saling melengkapi. Keserasian fisik rupanya tidak diikuti keserasihan pikiran, mungkin hati mereka saling tertambat cinta tetapi pikiran mereka berbeda. Badrun ingin hidup tenang di desa, ia merasa apa yang ada pada dirinya telah cukup. Ia berangkat ke sawah, membantu di sawah para tetangga. Jika sedang tidak ada pekerjaan di sawah dia akan mencari ikan di sungai. Bagi Badrun rizeki itu sudah ada yang atur, sedangkan manusia tinggal mensyukurinya saja. Sebaliknya Halimah ingin sesuatu yang lebih. Ia ingin hidup yang maju. Hidup harus bergerak dan tidak boleh begini-begini saja. Halimah melihat yang maju dan hidupnya bergerak adalah yang pergi ke kota. Mereka bisa membangun rumah gedong, di rumah itu ada perabot yang bagus, ada mobil di garasinya, membeli sawah yang luas. Rumah-rumah itu ditunggui oleh orangtua mereka yang sudah renta.

Satu minggu Halimah tinggal di apartemenku. Kini kami duduk berdua di sofa. Terai yang terbuka memperlihatkan hutan gedung yang rimbun, menjulang dan terang. Halimah masih takjub dengan kehidupan kota. Di Jakarta menurutnya sudah seperti di surga, mau apa saja tinggal pencet Hp dan barang datang sendiri. “Tidak semua begitu Mah. Disini yang miskin, penderitaannya bisa melebihi dari di desa. Di desa jika orang tidak punya lauk mereka bisa mancing, jika tidak punya sayur mereka bisa ramban di kebun tetangga. Di sini mau ramban dimana. Semua menjadi dagangan di sini.

“Apa saja?”

“Ia apa saja. Termasuk ini.” aku mendekat dan remas panyudara Halimah.”

“Ini juga” aku remas pantatnya. Halimah diam saja. Matanya nanar melihat lampu-lampu kota.

“Mi, sudah satu minggu aku merepotkan mu. Hidupku menjadi tanngunganmu. Aku ingin segera mendapat uang dan bisa mengirim ke rumah. Untuk hidup anakku.”

“Kamu kursus tata rambut dulu ya? Kalau sudah mahir nanti aku titipkan di salon temanku.”

“Kok lama ya Mi?”

“Lha kamu bisa apa? Kecuali kamu mau kerja kasar macam ngepel, cuci baju. Pekerjaan seperti itu pun butuh kursus dulu. Bahkan pekerjaan mengasuh bayi, menunggu orang jumpo juga butuh latihan tidak bisa tiba-tiba. Kau harus menjadi professional baru kamu akan mendapatkan bayaran yang layak.”

“Mi. kebutuhanku sekarang ini adalah mendapatkan uang yang banyak dalam waktu yang cepat. Tidak usah bertele-tele. Sudah menjadi rahasia umum, orang-orang desa kita, perempuan-perempuan dari desa kita yang kaya-kaya. Yang rumahaya gedong, sawahnya luas dalam waktu singkat itu kerjaannya sebagai begengek. Iya kan? Mereka menjual hormon. Aku ingin seperti itu, kerjo sedelok bondo wis ketok. Seperti yang kamu katakantadi, di sini semuanya jadi dagangan. Di kampung aku sudah tidak punya apa-apa Mi, tapi anak dan orang tuaku butuh makan, butuh sekolah demi masa depannya kelak. Biarkan aku menjadi kayu bakar, habis menjadi abu yang penting anakku menjadi orang. Aku telah mencari-cari barang-barang berharga yang aku miliki, semuanya telah dijual untuk melanjutkan hidup. Tarif listrik naik, bensin naik, gas naik. Sementara itu suamiku santainya tidak ketulungan. Katanya, jika tidak ada gas ya masak pakai kayu bakar. Jika tidak ada lauk ya makan sayur saja. Laki-laki macam apa Badrun itu. Setelah mencari-cari aku ingat. Aku masih punya sesuatu yang mungkin masih berharga. Apalagi kalau bukan tubuhku. Segeralah aku menghubungimu”

“Kerja begitu juga butuh keterampilan Mah. Biar berkelas dan tidak murahan, biar bayarannya mahal. Semua butuh waktu.”

“Apa aku sudah tidak laku? Sudah terlalu tua?”

“Bukan masalah itu Mah. Hanya butuh dipoles. Kamu harus bisa berdandan, kamu juga harus bisa memilih pakaian yang bagus. Cara jalan dan menyapamu juga harus benar. Ini namanya kepribadian. Kamu harus terlebih dulu latihan itu. Ikut pelatihan kepribadian juga bagus, kalau tidak begitu kamu luaskan pergaulan. Kalau hanya begini kamu hanya akan menjadi begengek kelas comberan yang bekerja dalam waktu singkat karena tubuhnya telanjur rusak. Pelangganmu hanya sopir truk, buruh pabrik.

Jika kamu ingin punya pelanggan bos, pejabat, kamu juga harus ikut senam, fitness, makanan yang bergizi untuk menjaga tubuh tetap bagus. Ingat tubuh itu modal, tapi tidak cukup itu, pada tahab berikutnya adalah kepribadian. Kau harus bertutur kata lembut, berwawasan luas, bisa berdandan dan itu hanya bisa diraih dari pergaulan. Semua butuh waktu. Tidak semudah yang kamu sangka.”

Jakarta tidak pernah berhenti. Di bawah sana mobil-mobil masih bergerak, gedung-gedung masih terang benerang. Jakarta tidak pernah istirahat. Sebotol air mineral di depan kami tinggal separo. Malam sudah larut tapi aku belum mau memulai tidur. Besok tidak ada pekerjaan. Aku ingin memberitahu Halimah tentang banyak hal, bahwa tidak ada yang mudah. Sesuatu yang mudah diraah itu tidak bertahan lama.

“Mah, dulu terus terang aku memang pernah bekerja demikian. Tetapi sekarang sudah berhenti. Aku memulai kerja di Jakarta karena dirayu. Waktu itu aku diiming-imingi kerja bagus, penjaga minimarket katanya. Dia juga menjanjikanku gaji yang besar. Eh ternyata aku hanya kerja di toko kecil dengan jam kerja yang panjang. Aku kelelahan dan aku lari ke teman. Aku ditampung di kontrakan teman yang bekerja sebagai begengek. Aku ikut kerja seperti itu. Terpaksa karena tidak punya pilihan lain. Mulanya aku kerja di tempat hiburan, tidak lama kemudian aku menemani tidur juga. Cukup lama aku kerja begituan. Tapi aku belajar Mah. Aku belajar. Sambil bekerja aku kursus apa saja. Aku meningkatkan keterampilan. Aku sadar bekerja begini tidak akan lama. Usia kita beranjak tua sudah tidak akan laku lagi. Tubuh ini dagangan, jika kualitas tubuh ini sudah kisut tidak ada yang mau melirik. Seperti orang jualan buah itu lho Mi, buah-buah yang kisut hanya dibeli oleh pembeli yang miskin dengan harga murah.

Resiko yang lain pekerjaan begini adalah penyakit. Selian itu banyak yang menjadi korban kekerasan hingga kematian karena bekerja seperti ini. oleh alasan itulah kemudian aku berhenti. Sekerang aku bekerja sebagai instruktur senam dan penata rias. Segala yang aku pelajari sekarang menghasilkan uang, aku bisa masak juga. Aku tidak mau menjerumuskan teman Mah. Itulah kenapa aku menyuruhmu untuk kursus dulu. Jadi pemikiranmu dan juga sebagian besar masyarakat desa kita bahwa perempuan yang bekerja di kota dan berhasil itu seluruhnya bekerja sebagai begengek itu keliru.”

Aku meriah remote AC, mengecilkan suhu udara ruangan. Tidak ada tanda-tanda Halimah menanggapi pembicaranku. Ini menjadi kesempatan bagiku untuk menuntaskan ceramahku. “Mah, dulu aku dirayu. Diming-imingi untuk mau tidur sama laki-laki. Katanya sebentar saja kok, nanti dapat uang banyak, dll. Gak enak Mah, gak enak tidur sama laki-laki karena bekerja itu gak enak. Kita harus pura-pura menikmati, pura-pura terangsang. Namanya pura-pura itu kan melelahkan. Tetapi sekarang terserah kamu, keputusan ada padamu. Aku akan menunjukkan jalan jika kamu akan menjadi begengek dan aku pun akan menunjukkan jalan jika kamu akan kerja di salon, membuat kue, atau instruktur senam seperti aku.”

***

“Pulang naik apa Mah?” tanya tetua kampung.

“Naik motor mabur Mbah.”

“Wah kamu sudah sukses Mah. Aku yang setua ini belum pernah naik motor mabur.”

“Terus apa pekerjaanmu di kota?”

“Kerjaku mengumpulkan duit lanang Mbah. Di Jakarta itu banyak duit lanang. Duit lanang itu uang yang dihasilkan laki-laki di luar gaji pokok. Gaji pokok itu uang istri sudah diberikan kepada istri, sedangkan bonus, komisi, uang saku, uang sabetan itu uang lanang dan harus disalurkan kepada yang selain istri. Jadi aku tidak pernah mengganggu jatah istri-istri mereka. Pekerjaan ku hanya menampung dan mengumpulkan duit lanangniku Mbah.”

 

 

Muhajir Arrosyid – dosen di Universitas PGRI Semarang, penulis buku kumpulan cerpen Menggambar Bulan dalam Gendongan”

 

Begengek: pelacur

Duit lanang: uang diluar gaji pokok.

Uang sabetan: semacam uang korupsi, uang yang di dapat tidak dari jalur resmi.

Mangkel: jengkel

Nerimo ing pandum: pasrah

Kerjo sedelok bondo wis ketok: kerja sebentar dapat uang banyak

Motor mabur: kapal terbang

Dimuat di Solo Pos 12 Januari 2020

0Shares

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mulai mengetik pencarian Anda diatas dan tekan enter untuk mencari. Tekan ESC untuk batal.