SEBUAH UPAYA MENGALAMI

Apa lasanmu mendongeng? Apakah kau butuh eksistensi, uang, terkenal. Kau buang-buang tenaga saja. Kau tidak fokus pada satu bidang yang kau geluti. Kau akademisi, seorang akademisi harus punya latar belakang yang jelas saat bertindak, memiliki akar pemikiran yang kuat, dan tujuan yang hendak dicapai. Kau apa Jir, kau apa? Dongeng tentang menthok bisa dilakukan oleh siapa saja, tidak perlu latihan lama. Isu yang kau angkat dalam dongengmu juga bukan isu baru, bentuk kesenianmu juga bentuk yang usang. Pembaharuan apa yang kau lakukan dalam kesenian? Kau selalu gedumel ketika mendengar sebuah kelompok seni mementaskan naskah yang itu-itu saja. Naskah kuno yang diulang-ulang. Kau selalu berharap adanya naskah yang diangkat dari penelitian mendalam dan sesuai konteks kekinian. Lalu apa yang telah kamu lakukan?

Tahu tidak kamu, apa yang kamu lakukan itu bodoh dan naïf sekali. Sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan oleh manusia menjelang umur empat puluh tahun. Harusnya kau tidak melakukan hal-hal remeh seperti ini.

***

Kalimat-kalimat itu disampaikan oleh sahabat dekat yang paling jujur dan berani di sebuah malam menjelang subuh yang gerah. Ia adalah sehabat yang selalu aku dengarkan ucapannya meskipun terdengar menyakitkan. Ia yang paling berani berkata jujur. Aku butuh orang-orang yang berani berkata jujur, teman-temanku berkesenian rata-rata adalah angkatan bawahku yang mungkin sungkan menyampakian kritik kepadaku. Apa yang ia katakan mungkin adalah sama sebagaimana yang ingin kau katakan tetapi tidak sampai hati. Mengapa di zaman animasi begini kau datang mendongeng? Kau butuh eksistensi dan tidak punya pekerjaan lain?

                Memikirkan pertanyaan dari temanku kok jadi ruwet, jadi berat sekali. Padahal aku berangkat dari hal sederhana. Kalau tidak salah ingat ide mendongeng keliling itu muncul dari obrolan di sebuah kafe bersama teman-teman kantorku. Aku biasa main ke rumahnya. Ngobrol panjang lebar berjam-jam tentang banyak hal. Kegiatanku bertandang ke kediaman teman yang punya komunitas, punya usaha itu aku lakukan di banyak teman. Sebuah acara santai yang kami sebut ‘ngopi’ itu mau sedikit aku kemas dalam sebuah acara. Dan acara itu adalah dongeng yang mungkin akan dilanjutkan dengan diskusi terkait itu. Mengapa dongeng, mengapa bukan drama teater, karena rumah sahabat-sahabatku, warung, kafenya itu tidak besar yang menampung paling banyak 20 orang. Sederhana bukan?

Hidupku penuh obrolan, diskusi, perdebatan kecil dengan teman, dll. Gagasan-gagasan yang muncul dalam diskusi itu ingin sekali aku wujudkan. Perbincangan itu misalnya seperti cerita di bawah ini.

Dalam sebuah perjalanan dari rumahku ke Semarang kami diskusi di dalam mobil. Di mobil itu ada Kang Ali, Aan, Kang Iwan, dan aku. Entah bagaimana memulainya, kami berbicara tentang dongeng. Ada banyak hal yang perlu didongengkan kepada generasi mendatang. Misalnya, ada peribahasa “Seperti katak dalam tempurung” ini adalah sebuah peribahasa yang pastinya dimulai dari sebuah cerita. Seseorang yang merasa besar, merasa paling jagoan, paling pintar, dan hebat di kampungnya karena dia tidak melihat bahwa di luar sana ada dunia yang luas. Tempurung itu bisa batas geografis, bisa batas pemikiran, bisa kependekan pikir dan tidak mau belajar lagi. Membaca buku adalah membuka jendela, ia menengok dunia luar dari tempurung yang membelenggu.

Kang Ali melontarkan istilah ‘pahlawan kesiangan’ dan ‘anak kemarin sore’. Baginya dua istilah ini tidak konsisten. Ketika ada orang diperolok dengan istilah pahlawan kesiangan harusnya yang muncul adalah anak kemarin pagi.

Mungkin dua istilah ini beda konteks. Cerita pembangunnya berbeda. Bisa jadi, menurut saya, istilah anak kemarin sore diungkapkan pada latar cerita pada malam hari. Jadi sore menjadi hal paling dekat. Kami sampai tujuan, obrolan kami tentang dongeng dan khasanah yang terselip dalam dongeng ikut usai.

Namun begitu obrolan tidak pernah usai. Di lain waktu saat saya duduk menengguk kopi bersama Wiwid dan Pai obrolan tentang peribahasa muncul lagi. Di akhir pekan kami biasa menghabiskan waktu dengan ngobrol dan menenggak kopi. Kami biasa mengobrolkan tentang buku. Ia bercerita tentang trand buku. Ia memperlihatkan kenyataan hari ini, orang boleh bicara ke sana ke mari dengan bacaan yang setinggi langit tetapi juga harus melihat realita. “Minggu lalu aku menghadiri acara buku, penulis buku adalah seorang intagramer, dan bukunya adalah kumpulan kutipan. Gila buku model begini laku keras, penggemarnya banyak sekali. Untuk tanda tangan orang harus antri sampai tujuh puluh antrian.” Kata Wiwid.

Aku menangkap era kutipan ini. Mungkin, kita kembali pada era peribahasa. Masyarakat kita menyukai peribahasa karena pendek dan lugas langsung sebagaimana kutipan di masa sekarang.

Dari obrolan-obrolan semacam itu lah saya dengan sangat sederhana ingin keliling mendongeng sambil mengabarkan, kita punya ilmu yang disampaikan melalui peribahasa, jika tidak lewat dongeng lalu melalui apa coba?

Saya ingin bertemu sedulur dan membangun paseduluran. Ketika saya berangkat maka saya terbanyang senyum sedulur-sedulur yang akan saya temui. Kiranya itu saja cukup membahagiakan. Sampai ketemu.

0Shares

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mulai mengetik pencarian Anda diatas dan tekan enter untuk mencari. Tekan ESC untuk batal.