SENI ITU BUKAN EMAS TETAPI PERUNGGU

Secara tidak sengaja saya melihat pidato peringatan 50 tahun IKJ yang disampaikan oleh rektornya, Dr. Seno Gumira Ajidarma, S.Sn.M.Hum di youtube. Sambutan pendek tetapi menarik hati saya. Sambutan itu tanpa judul, judul tulisan ini adalah judul dari saya sendiri. Saya hendak mencatat pidato itu agar tidak lupa.

Seno mengawali pidatonya dengan sebuah pertanyaan. “…50 tahun Institut Kesenian Jakarta. Disebut dengan tahun emas, pertanyaannya, apakah IKJ sudah menjadi emas?” Kemudian pertanyaan itu dijawab oleh Seno sendiri. “Kalau saya tahu diri saya katakan belum.” Kemudian Seno melanjutkan bahwa mungkin perak juga belum, jika perunggu, IKJ masih percaya diri dengan perunggu.

“Kita tidak perlu melihat IKJ dalam konteks emas, perak, dan perunggu. Siapalah yang mengatur konstruksi pengetahuan itu. Saya kira justru kita tidak tertarik dengan emas hanya sebagai perhiasan. Sedangkan perak, juga perhiasan nomor dua, tetapi perunggu dalam kehidupan sehari-hari jauh lebih banyak gunanya dari pada emas dan perak. Dan karena itu saya bersyukur jika IKJ dalam usianya ke-50 tahun bisa berguna seperti perunggu. Bukan hanya pada nilai yang ditinggi-tinggikan, dibuda-budayakan, sehingga emas disebut logam mulia, tetapi benar-benar berfungsi. Jadi bukan lagi mengacu pada sekadar masterpiece tetapi seni yang bedaya dalam kehidupan sehari-hari. Saya kira saya bisa yakin bahwa IKJ sudah mencapai hal itu.” Begitu kata empunya pendekar tanpa nama dan jurus tanpa bentuk itu.

Ia pada acara itu mengenakan kaos warna hitam berkerah. Rambutnya panjang didominasi warna putih. Ia melanjutkan pidatonya, “Namun dalam konteks 50 tahun plus pandemi covid 19 yang menarik bagi saya adalah justru pada saat mencapai tahun ke-50 kita harus kembali ke titik nol. Bukan dalam arti punah namun kita memang lahir kembali pada suatu zaman baru yang menantang seluruh kreatifitas kita menjadi seni yang riil (nyata), seni menghadapi kehidupan yang kongkrit bahwa udara yang kita hirup bisa berbahaya, bersentuhan berbahaya, dan saya kira kreatifitas seni sangat menentukan mengatasi semua itu. Tentu bukan dari segi kesehatan, dari segi yang lain-lain tetapi dalam hal memberikan inspirasi, memberikan suatu semangat hidup, spirit bahwa covid macam apa pun, wabah macam apa pun tidak perlu disesali. Kita hadapi saja. Kata orang betawi, “jabanin,”. Jadi wabah atau pun tidak wabah, persoalan apa pun, kita jabanin dan itulah berkah keberadaan IKJ di Jakarta. Dan itulah sambutan saya. Terimakasih.” Selesai.

Dari pidato itu, Seno menyampaikan tentang seni yang riil (nyata), seni yang digunakan untuk kehidupan sehari-hari. Seni hadir sebagai pemberi semangat hidup. Dalam konteks wabah, seni memberi inspirasi, wabah ini kita hadapi.

0Shares
Dosen di Universitas PGRI Semarang. Penulis buku Soko Tatal dan kumpulan cerpen Di Atas Tumpukan Jerami. Penggiat di Simpul Gambang Syafaat Semarang dan Maiyah Kalijagan Demak.
Pos dibuat 134

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mulai mengetik pencarian Anda diatas dan tekan enter untuk mencari. Tekan ESC untuk batal.