Moderator

Akhir-akhir ini saya sering diposisikan sebagai moderator. Saya pernah mengalami menjadi moderator dengan pembicara yang cukup dikenal di forum yang dihadiri ribuan orang, juga pernah memoderatori forum dengan pembicara lokal yang dihadiri kurang dari sepuluh orang peserta. Perasaan saya biasa saja. Forum kecil dan besar bagiku tidak ada masalah. Pembicara lokal dan nasional tidak membuatku minder dan gagah. Alhamdullilah. Jangan tanya masalah honor, tidak enak dibicarakan di sini.

Moderator dari kata moderat, orang yang berada di tengah-tengah. Jadi posisi moderator dalam sebuah forum adalah harus berada di tengah-tengah, memberi ruang bicara kepada pembicara dan juga audiens, secara adil. Tugasnya mengatur agar acara berjalan lancar. Waktu dibagi sedemikian rupa agar semua mendapat tempat pada posisi yang pas. Memastikan tidak ada yang dominan, mengaransemen nuansa agar asupan ilmu, keceriaan, spritualitas berjalan seimbang.

Ada panitia yang menganggap moderator itu penting bahkan sangat penting. Alasannya, kesuksesan dan kegagalan sebuah acara bergantung pada moderator. Ada tipe moderator yang seperti pembawa acara talkshaw, dia lebih banyak bicara dibanding pembicaranya. Waktu yang seharusnya bisa ia berikan kepada hadirin untuk tanya jawab dia habiskan sendiri. Moderator semacam ini memiliki penyakit berbicara, atau hobi ngoceh di depan umum.

Tapi ada panitia acara yang menganggap moderator itu tidak penting. Paling tidak, di atas panggung posisinya di bawah pembicara. Saya pernah punya pengalaman dimintai tolong menjadi moderator sebuah seminar nasional dengan jumlah peserta dua ribu peserta. Seminar itu menghadirkan tokoh terkenal yang sedang digandrungi. Untuk menghadirkannya harus membelikan tiket pesawat pulang pergi, hotel, dan honor entah berapa. Saya menyiapkan diri dengan baik. Acara dimulai pukul sembilan, oleh panitia saya diminta datang pukul delapan, tetapi agar persiapan optimal, saya sampai lokasi pukul enam pagi. Saya mengenakan jas, sepatu yang telah saya semir.

Acara selesai, berjalan lancar dan sukses. Usai acara seluruh panitia mengurubuti pembicara, meminta foto bersama, ngobrol dan lain-lain. Saya masih duduk di lokasi acara. Panitia masih sibuk dengan pembicara. Mereka silau, kagum, dan mabuk. Akhirnya saya mengambil tas saya melangkah meninggalkan lokasi acara dengan sesekali salaman dengan peserta. Kondisinya persis seperti habis penghitungan suara pada pilkades. Saya seperti calon yang kalah meninggalkan lokasi pemungutan suara. Panitia pergi meninggalkan lokasi juga, mereka mengantar pembicara makan siang sebelum mengantarnya ke Bandara lagi. Saya masih berharap ada WA atau SMS masuk sekedar basa-basi permintaan maaf atau paling tidak ucapan terimakasih. Saya mampir di warung sebrang jalan dan makan disana sambil merenung tentang akhlak.

Terus akhlak itu apa? Akhlak adalah tingkah laku, sopan santun tata krama. Akhlak juga kemampuan menimbang rasa. Jika saya melakukan begini, apa yang kira-kira dirasakan orang lain? Tentu saja akhlak dilatar belakangi oleh pemikiran, pemahaman, rasa, dan otak. Jika menggunakan kerangka Koentjaraningrat tentang kebudayaan, maka ada tiga rumusan wujud kebudayaan. (1) wujud kwbudayaan sebagai komplek ide gagasan, (2) aktifitas dan tindakan, (3) benda-benda karya manusia. Poin satu dan dua didasari oleh poin kesatu. Perilaku atau akhlak yang busuk itu pasti juga didasari oleh penghargaan yang buruk pula.

Di rumah saya sering berdebat dengan istri perihal anak-anak yang gojek di masjid waktu salat jamaah. Menurutku harusnya itu tidak dilakukan jika anak-anak yang usia SMP itu memiliki akhlak. Jika dia belum tahu maknanya salat, paling tidak mereka harusnya menghormati orangtua yang sedang salat. Mereka biasanya datang telat, guyon sedemikian rupa, dan lari sebelum salam. Istri saya bilang, biarkan saja. Ini cara mereka bersentuhan dengan masjid. Akhlak menentukan cara kita bersikap kepada orang lain dan memosisikan dan menghormati orang lain.

Menjadi moderator di forum maiyah tantangannya berbeda lagi. Masalah akhlak para penggiat tidak usah diragukan lagi. Tantangannya adalah durasinya yang panjang hingga delapan jam dan pengisi acara yang tidak terduga. Kadang-kadang yang berada di panggung banyak maka pembagian waktu yang harus ketat, kadang sedikit yang mengharuskan moderator putar otak agar acara tetap berjalan greng.

Tidak enak juga jika terpaksa menyela, menghentikan pembicaraan pembicara. Sudah pembicara gratisan, tidak dikasih honor kok dihentikan di tengah jalan. Gak enakkan disela saat sedang on-onnya berbicara? Tetapi menyela juga atas pertimbangan menghormati pembicara yang lain atau pengisi acara yang lain agar juga mendapat waktu. Di tengah memang tidak mudah, untuk menjadi pas memang butuh banyak belajar.

Moderator tidak dibutuhkan manakala setiap pengisi acara mengerti posisi dan perannya. Kebijakan moderator memotong pengisi acara adalah cara moderator menjadikan pengisi acara tidak saja pintar, tapi juga bijaksana. Orang yang bijaksana adalah orang yang tahu kapan dia harus berhenti, kapan dia harus terus. Siapa yang meragukan kepintaran Suharto, tapi apa beliau cukup bijaksana untuk berhenti,  sebelum akhirnya diminta mundur.

Jadi, saat saya terpaksa memotong pembicaraan, itu semata mata agar pembicara dilihat audien tidak saja pintar, tapi juga agar jangan sampai terlihat tidak bijaksana. (Muhajir Arrosyid).

0Shares
Dosen di Universitas PGRI Semarang. Penulis buku Soko Tatal dan kumpulan cerpen Di Atas Tumpukan Jerami. Penggiat di Simpul Gambang Syafaat Semarang dan Maiyah Kalijagan Demak.
Pos dibuat 134

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mulai mengetik pencarian Anda diatas dan tekan enter untuk mencari. Tekan ESC untuk batal.