Suatu masa setelah menjadi manusia teater saya beralih ke manusia ransel. Setelah menjadi manusia ransel keterlibatan saya terhadap teater hanya sekedar penonton. Dengan ransel saya pergi kesana-kemari. Ransel itu berisi pakian, peralatan mandi, dan buku pinjaman. Di sela-sela acara say abaca buku yang sering tidak saya pahami. Saya ikut-ikutan baca Tan Malaka dan buku-buku filsafat, meski setelah saya baca berulang-ulang tetap tidak paham juga.
Dari Kang Arif Rubai saya kenal Pramudya Ananta Toer, bahkan ada kelompok bacanya. Selain membaca setiap minggu ada diskusi. Di ruang sempit itu di simpat berbagai macam buku. Dari sana saya mengenal dan mencintai buku. Jika membaca Tan Malaka saya tidak paham, membaca Pram saya tenggelam dalam kemarahan. Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, hingga buku-buku tipisnya semacam Bukan Pasar Malam.
Pada masa setelahnya saya dikenalkan buku-buku terbitan Lkis, buku-buku ini mengembalikan saya kepada habitat saya, NU. Lkis banyak menerbitkan buku tokoh-tokoh ulama NU. Ada buku yang menjadi bahan diskusi rutin burjudul Suluk Abdul Jalil, Syeih Siti Jenar. Buku karya Agus Sunyoto ini terbit sebanyak tujuh jilid.
Manusia ransel itu manusia sok yes, kesana kemari menghadiri diskusi dengan tema yang beragam, pagi diskusi tentang kebijakan pemerintah, sore tentang seni, malam tentang budaya, tidak jelas konsentrasi keilmuannya apa. Manusia ransel juga tidak pernah merencanakan nanti malam tidur di mana, ia pindah dari basecamp ke basecamp lainnya. Setelah menikah saya berhenti menjadi manusia ransel.