Khitan adikku sayang dan biduan

Lebaran adalah waktu yang tepat untuk menyelenggarakan hajat. Buktinya, banyak orang menyelenggarakan hajatan pada bulan ini. Undangan sudah menumpuk di meja, hajatan pernikahan dan khitan.

Lebaran keempat aku silaturahim ke Karangawen, Karangtengah, Ngaluran, Mutih kemudian pulang melalui Gaji dan Kliteh. Sepanjang perjalanan aku mendapati orang punya gawe, soundsystem berdengung di rumah-rumah. Iring-iringan anak-anak naik kuda seperti pangeran. Sebagai hiburan ditanggaplah grup musik dangdut menampilkan biduan berpenampilan seksi.

Pengantin sunat itu diiring mengelilingi kampung, ditabuhi dengan rebana dan gamelan. Di belakangnya rombongan kuda lumping beraksi. Pengantin sunat kembali lagi ke rumah disambut oleh keluarga. Ia turun dari kuda dan digandeng menuju singgasana. Kuda dibawa ke lapangan. Kuda-kuda itu diberi makan sebagaimana makanan manusia. Di tempat yang disediakan rombongan kuda lumping beraksi dengan alur yang sama sejak aku kecil. Ada buto-buto bertopeng menakut-nakuti para gadis, kuda lumping yang lari-lari, pawang mengendalikan menggunakan cambuk atau pecut. Puncaknya adalah sang kuda lumping ndadi atau kesurupan. Terakhir sang pawang berhasil mengendalikan.

Setelah itu tradisi pada masa lalu adalah pengantin khitan mengaji Alquran ditemani oleh teman-teman sebaya, disaksikan oleh sesepuh kampung dan keluarga. Ini semacam kesaksian bahwa anak sudah akil balig, siap menjalankan syariah agama seperti salat secara penuh.

Tapi tradisi itu kian kikis, masih ada cuma tidak banyak. Masalahnya memang tidak mudah, dulu jika orang mau sunat harus terlebih dahulu membaca Alquran sampai selesai, kemudian saat upacara walimatulkhitan dibaca bagian juzz ama, maka disebut khataman quran. Untuk mampu begitu seorang anak harus menyiapkan diri secara intensif, setiap malam dipandu oleh guru ngaji.

Sekarang ini tidak banyak yang mampu. Acara walimatul khitan tetap dilaksanakan tetapi minus mengaji. Sementara itu jeda yang tadinya diisi oleh mengaji sekarang ini diganti dengan hiburan. Siang itu sebagaimana yang saya saksikan hiburan yang didatangkan adalah kuda lumping dan orkes dangdut. Jadi usai pengantin khitan keliling kampung menaiki kuda dan sampai rumah lagi maka ia duduk di tempat semacam singgasana. Rombongan kuda lumping beraksi, setelah usai gantian orkes dangdut beraksi.

Pengantin sunat juga para tamu dan anggota keluarga pandangannya beralih ke panggung. Di sana ada sekelompok pemain musik dan biduan di tengah siap bernyanyi. Di pinggir panggung tiga biduan lain siap menunggu giliran menyanyi.

Biduan itu memulai dengan pengantar ala kadarnya. Menyapa adik yang disunat, keluarga dan para tamu. Para pemusik masih mencoba-coba alat-alatnya. Suara biduan khas, agak nyeret-nyeret tidak jelas artikulasinya. Ia mengenakan baju ketat yang memperlihatkan bahunya. Roknya memperlihatkan kaki-kakinya dari ujung jari hingga paha. Lagu pertama adalah “Adikku Sayang”. Lagu yang dipopulerkan oleh grup Qosidah Nasidaria ini menjadi lagu wajib acara khitanan.

Begini lirik lagu tersebut: //Adikku sayang oh adikku sayang//Kini masanya kau kan dikhitankan//Menjalankan syari’at nabiyallah Ibrahim//Sebagai abal anbiyya yang dikasihi Allah//Tersebut kholilullah//
Teteskan darahmu sebagai saksi//Demi sunnah rasul yang harus ditaati//Uswatun hasanah sebagai teladan//Sungguh mulia menjalankan kewajiban//Oh adik sayang//.

Jika kita memperhatikan ada simbul  dan makna yang saling bertabrakan dalam peristiwa itu. Pertama tentang anak sunat dan lagu “Adikku Sayang”. Tidak ada masalah dalam hal ini, seorang anak yang khitan dinasihati oleh kakaknya tentang sebuah masa di mana seseorang sudah saatnya dewasa dan menjalankan syariah agama. Pas.

Tapi akan kontras jika melihat antara pesan dalam lagu yang isinya nasihat agama, teladan, dan syariat dengan pakaian penyanyi yang seksi. Penyanyi di situ hanya menasihati melalui mulut dan tidak dengan tubuh. Antara tubuh dan yang keluar dari mulutnya bertentangan.

Kekontrasan yang ketiga terlihat dari seorang anak yang baru saja khitan dengan penyanyi memperlihatkan paha itu. Dulu saat aku khitan, hal yang paling menyiksa adalah saat pagi hari dan tititku berdiri. Sakitnya minta ampun. Sekarang ini, ada seorang Bapak yang menghadapkan anaknya yang baru saja sunat tititnya berdiri melihat penyanyi dangdut itu. “Ben cepet gede”.

101Shares
Dosen di Universitas PGRI Semarang. Penulis buku Soko Tatal dan kumpulan cerpen Di Atas Tumpukan Jerami. Penggiat di Simpul Gambang Syafaat Semarang dan Maiyah Kalijagan Demak.
Pos dibuat 141

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mulai mengetik pencarian Anda diatas dan tekan enter untuk mencari. Tekan ESC untuk batal.