Ada gengsi di sekolah. Mula-mula adalah citra sekolah, kemudian menjadi gengsi bagi yang mau mendaftar ke sekolah tertentu. Gengsi akan naik jika seseorang mampu sekolah di sekolah yang memiliki citra baik.
Bagi sekolah tidak dosa membangun cutra, bahkan citra baik harus diperjuangkan. Citra bukan hanya perkara luaran tetapi juga hingga ke dalam. Bukan hanya pupur, cat tembok sekolah tetapi juga mencakup sistem ke dalam. Citra adalah yang tertangkap di luar, memulainya dari dalam dan di awali sekian tahun sebelum citra itu terhembus ke luar. Sesuatu terlihat biasanya mencerminkan yang tidak terlihat. Sebuah gudung sekolah yang selalu bersih maka mencerminkan tata kelola yang bersih pula. Berbeda jika gudung bersih hanya saat akan ada kunjungan, kecantikan macam ini hanya kecantikan lipstick.
Ibarat tanaman bunga, harus terlebih dahulu ditanam, dirawat, dipupuk. Selama perjuangan masa merawat itu tidak banyak orang menoleh tapi jika sudah waktunya bunga mekar harum semerbak orang baru menoleh menyaksikan bunganya yang indah, mencium aromanya yang harum. Mekarnya bunga itu adalah citra, sedangkan perjuangan sebelumnya adalah proses yang tidak dianggap enteng.
Dalam lingkup sekolah citra itu dibangun melalui sistem yang baik, dijalankan dengan benar, disiplin, konsekuen, konsisten, dan dipahami dan dijalani seluruh komponen baik itu pimpinan, guru, siswa, hingga petugas administrasi. Seiringnya waktu maka akan berbunga menjadi prestasi. Baru banyak orang menolah melihat keekokannya. Artinya apa, seluruh sekolah memiliki kesempatan yang sama untuk tumbuh. Sekolah yang kini dipandang sebelah mata bisa jadi sedang dalam proses menjalankan sistem itu dan akan berkembang pada saatnya.
Gengsi
Citra yang baik itu menimbulkan gengsi. Bagi orang yang di dalam, yang ikut berproses maka gengsi sama dengan kebanggan. Seseorang merasa bangga menjadi bagian dari sekolah itu. Dimana-mana nama sekolah yang bergengsi ditunjuk-tunjukkan. Maka, jika reputasi sudah seperti ini banyak orang ingin menjadi bagian dari sekolah itu. Tidak hanya sekolah, perusahaan juga begitu. Para calon siswa berduyun-duyun berlomba untuk bisa masuk ke sekolah bercitra favorit itu. Mereka ingin menjadi bagian. Mereka ingin nebeng nama baik.
Bagi orangtua siswa, alangkah malu jika ada teman atau tetangga bisa masuk tetapi anak kita tidak bisa masuk. Berbagai upaya dilakukan baik cara benar maupun cara tidak benar alias main belakang. Upaya main belakang inilah bibit-bibit sekolah yang bereputasi baik akan mengalami kehancuran. Sekolah tidak lagi sebagai tempat mencari ilmu tetapi sebagai dagangan. Reputasi dibangun hanya sebagai ‘jebakan’.
Ada orang tua yang berupaya ‘membeli kursi’ agar anaknya bisa duduk di dalam kelas itu, berapapun uang yang harus mereka bayarkan. Mereka hilang akal jika ini baru SMP. Studi selanjutnya masih panjang yang juga membutuhkan banyak biaya. Citra itu baik tapi jika sudah menjadi gengsi bisa menjadi penyakit. Karena gengsi orang kehilangan rasionalitas. Bahkan ada yang rela berpura-pura miskin, datang dengan membawa surat keterangan miskin meskipun dia tidak miskin, karena orang miskin dapat prioritas.
Banyak akibat lanjutan, misalnya pendidikan tidak merata. Sekolah yang unggul akan semakin unggul karena dipasok oleh anak-anak berkemampuan unggul. Sekolah unggulan itu punya kesempatan awal untuk memilih calon siswanya. Sedangkan sekolah biasa menerima sisanya. Sekolah biasa berjuang lebih keras untuk menjadi sekolah unggul.
Kita akan kembali waras jika kembali berpikir sederhana, berpikir sebagaimana awal makna sebuah sekolah diselenggarakan. Sekolah diselenggarakan adalah untuk tempat anak-anak kita belajar. Belajar tentu saja bukan hanya saat di kelas. Anak-anak itu akan mencontoh cara-cara kita dalam berperangai, bersikap, bernegosiasi. Ketika kita orangtuanya berusaha memasukkannya di sekolah. Ini adalah pendidikan permulaan. Jika kita menggunakan cara-cara curang, maka kita mengajari mereka curang. Tegakah kita kepada anak kita?
dimuat di Majalah Derap Guru edisi Agustus 2018