Dari awal wabah ini muncul hingga sekarang ini telah banyak pengarang menulis tentang korona. Ada yang hanya menempel saja, namun ada pula yang menuliskannya secara khusus. Berbagai sudut pandang juga sudah dicoba. Ada cerita yang menempatkan korona sebagai sebab keretakan rumah tangga karena suami dipecat dari pekerjaannya, namun ada pula cerita yang menempatkan korona sebagai ‘aku’. Dunia dilihat dari sudut pandang virus yang mewabah. Ketika seorang penulis berhadapan dengan peristiwa dan di peristiwa itu ada tokoh dan latar, maka dia akan memilih di mana ia akan berposisi. Misal, ada sebuah peristiwa pertengkaran rumahtangga yang mengakibatkan suami-istri, anak, meja, gelas, dll. Pada saat begini kita bisa masuk melalui suami, istri, atau anak, atau bisa saja yang bercerita gelas yang dibanting.
Seno dalam “Simuladistopiakoronakra” (Kompas,05/06/2020) bercerita melalui makhluk keturunan manusia yang ingin menyelamatkan manusia karena tidak ingin kehilangan jejak leluhurnya. Ia tidak bercerita dari sebab atau pelaku yakni korona dan juga yang terdampak yaitu manusia. Di sini yang menjadi sebab kepunahan manusia memang wabah, namun yang menjadi penentu kepunahan justru manusia sendiri karena sikap ponggah dan egois.
Berbeda dengan cerita yang ditulis oleh Fadrik Ahmad yang berjudul “Jalan sunyi menuju mati” (Kompas, 09/08/2020). Fadrik memilih sudut pandang makhluk yang dianggap menjadi penyebab menyebarnya virus korona. Makhluk itu “…..bermata hitam legam, bulu kulit hitam kelabu, bermoncong dan bertaring” Makhluk yang disebut dengan codot, kampret, atau kita lebih mengenalnya dengan kelelawar ini memang hidup tidak normal. Ia hidup di tempat gelap dan mencari makan di kegelapan pula. Apa yang ia lakukan itu merupakan pilihan hidupnya. Ia sembunyi di kegelapan karena dia sadar pada tubuhnya tersimpan ribuan zoonosis yang bisa menyebarkan penyakit ke manusia. Pilihannya menyingkir dan ingin mati dikesunyian adalah sumbangsihnya kepada roda kehidupan agar terus berjalan.
Di tahab berikutnya manusia codot atau kampret ini sebagai simbol para pencuri yang melakukan aksinya pada malam hari.
Memang manusia itu sering mencari penyakit. Jika ia hidup normal, makan wajar, minum wajar, ia akan selamat. Namun manusia itu mudah bosan, maka mereka mencari variasi, mencari sensasi. Bosan makan daging ayam, sapi, kambing, maka mereka ingin menikmati sensasi menyantap ular, buaya, kodok, tikus, babi, dan anak anjing. Ya, sang kampret yang sudah mengisolasi diri di tempat yang gelap karena sadar akan penyakitnya bisa menular terkapar juga di los pasar menjadi barang dangangan. Dari sinilah mulanya hingga virus menyebar cepat dan tidak terkendali. Diceritakan dua orang laki-laki menggunakan kampret itu menjadi bahan percobaan hingga ia moksa dan tersebar mencari tubuh sebagai inang.
Pengembaraan dimulai, ia berkunjung ke seluruh belahan dunia termasuk ke sebuah negeri yang gemar menggoreng berita palsu. Akibatnya: “Seorang anak kelaparan. Seseorang ibu marah tak karuan. Seorang ayah kehilangan pekerjaan. Seorang kekasih merindukan belaian. Mereka tak mau bersalaman. Tak mau berdekatan. Aku tak peduli dengan segala kepanikan yang ditimbulkan. Sama halnya mereka, aku hanya berusaha untuk terus bertahan hidup. Berpindah dari inang ke inang untuk sampai pada suatu tempat: bertemu anakku.”
Perpindahan sudut pandang menimbulkan keunikan dalam cerita dan menyegarkan imajinasi.